Dari cara sidangnya saja (tertutup untuk umum) sudah ketahuan bahwa materi kasus perceraian (dan juga kesusilaan) bukanlah konsumsi publik, melainkan ranah privat, ranah domestik.
Sebagian orang senang kepo urusan privat orang, dari masalah ranjang sampai letak panu di kemaluan atau ada wanita dicerai gara-gara berpantat hitam.Â
Khusus media massa punya misi mulia untuk cerdaskan dan bimbing publik sesuai keadaban, etika dan hukum. Jadi, mengapa tidak hentikan blow up asumsi alasan bercerai si Anu bin Fulan.
Ada media yang memberitakan kasus perkosaan sampai detail, saking detailnya bisa-bisa pembaca ikut ngaceng membacanya. Bayangkan, kasus kesusilaan sampai berakibat begitu.
Yang punya kasus kesusilaan dan/atau perceraian juga, sebaiknya hindari umbar-umbar aib ke muka umum. Kalau mau melemparkan sesuatu ke muka umum, uang kek yang dilempar. Ini aib yang dilempar, pakai acara senyum-senyum pula.
Betapa hebat tata etiket pergaulan yang telah tertanam sejak ribuan tahun lalu, bunyinya: jangan buka aib orang; jika Tuhan menyembunyikan aib hambanya, jangan kamu membukanya. Siapa yang menutupi aib pribadi orang lain, yakinlah, aibnya akan ditutup pula, entah dengan cara apa. Memangnya ada manusia tanpa aib pribadi?
Membuka aib orang selain tidak elegan juga dapat berdampak negatif. Kasus kesusilaan, misalnya. Sekali dibuka ke publik, yang tadi korbannya cuma satu orang, bisa-bisa menyebar ditiru lalu lahirlah korban-korban baru. Lagian apa tidak jengah melihat hal tabu?
Coba bayangkan kejadian ini. Tiba-tiba tak sengaja mata tertuju dan terpaku ke, maaf, selangkangan gadis yang terbuka tidak sengaja. Jengah kan? Apalagi kalau ketahuan. Ha, ha, ha.
Bukan pula berarti campur-campur kan konsep aib pribadi dengan aib yang berdimensi publik.Â
Orang yang melakukan korupsi diam-diam lalu ketahuan, bukanlah aib pribadi, sudah seharusnya dibongkar ke publik  melalui prosedur hukum, dan sidangnya terbuka untuk umum.Â
Satu lagi indikator penting: jika sidangnya terbuka untuk umum, berarti materi sidang itu dipastikan merupakan konsumsi publik.
Pembagian tanah privat/domestik dan publik demikian sesungguhnya sangat sederhana. Tetapi dalam praktek suka kebablasan oleh naluri kepo tingkat dewa yang gatal luar biasa. Jangan-jangan Dewan Pers dan KPI Pusat ikutan kepo?
Kini saatnya LSM, Dewan Pers dan KPI Pusat semprit media, baik cetak maupun elektronik, yang blow up besar-besaran materi kasus perceraian (atau kesusilaan).
Bagaimana dengan blow up kasus chat mesum yang libatkan HRS dan FH? Tentu termasuk. Sayangnya, HRS melarikan diri hingga jadi buronan sehingga tak bisa buktikan klaimnya.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H