Minggu lalu saya mengantar istri berbelanja ke Pasar Raya Padang, pasar rakyat terbesar di Sumatera bagian tengah. Aktivitas biasa yang saya lakukan kapan saja sempat sejak bertahun-tahun lalu.
Mobil saya masuk dari arah Jalan Proklamasi, lurus lewat bundaran lampu merah, lewat depan eks kantor wali kota lama, belok kiri, lalu masuk bundaran depan masjid Taqwa Muhammadiyah, belok kanan dan mulailah kami masuk jantung Pasar Raya Padang yang sesak dan menyesakkan dada.
Waktu itu mobil beringsut seperti siput. Suasana di jalan hiruk pikuk. Mobil dan motor parkir sembarangan di badan jalan. Lapak-lapak pedagang kaki lima berjejalan di badan jalan, menutupi trotoar dan badan jalan. Sementara teriakan para pedagang saling berbenturan satu sama lain bersimfoni sumbang dengan suara klakson kendaraan yang tak peduli. Intinya: semerawut dan kamipun hampir semaput.
Saya mencoba mencari tempat parkir. Pertama celingak-celinguk di depan eks mal Matahari, tapi tak ada ruang kosong, bahkan sampai ke badan jalan sudah penuh dua baris kendaraan parkir, tinggal menyisakan ruang pas-pasan untuk satu mobil lewat.
Seorang ibu pedagang buah, yang berlapak di badan jalan, nampak terkantuk-kantuk menunggu pembeli. Seorang pria muda, saya duga masih bujangan, melambai-lambaikan celana dagangannya di kanan jalan, tepatnya di badan jalan.
Kendaraan terus beringsut bak siput di tengah lalu lalang pengunjung. Sampai di persimpangan, rasanya saya mau belok kiri, ke Blok A, karena di sinilah tujuan kami, tapi takut terjebak nanti sulit keluar, akhirnya saya batalkan. Kendaraan terus melaju pelan.
Setelah menurunkan istri yang bermaksud ke Blok A, saya belum juga dapat tempat parkir. Tak ayal mobil pun akhirnya masuk jalan Permindo, sebuah ruas jalan yang tak kalah hiruk pikuk, dan gersang, karena pohon-pohon besar berusia puluhan tahun telah ditebang tanpa sisa untuk sebuah proyek polesan. Sampai di sini pun saya masih juga belum dapat tempat parkir.
Nasib mujur, akhirnya saya dapat tempat parkir di pertengahan jalan Permindo, persis di depan toko mas Sumatera. Saya tidak turun dari kendaraan. Menunggu.
Saya diam saja di dalam kendaraan, mendengar musik, dan berpikir. Mengapa penguasa kota nampak begitu sulit membenahi Pasar Raya Padang? Ah, mungkin memang benar-benar sulit.
Wali Kota Fauzi Bahar sepuluh tahun menjabat dan gagal membenahi pasar terbesar di Sumatera Barat ini. Mahyeldi, mantan wakil Fauzi, yang kini menjadi Wali Kota Padang, juga telah sepuluh tahun berkuasa (lima tahun sebagai wakil dan lima tahun lagi sebagai wali kota), juga gagal membenahi Pasar Raya.
Setelah gempa besar melanda Padang September 2009 lalu, sebagian gedung Pasar Raya hancur. Sebagian pedagang kehilangan tempat berjualan. Bahu jalan, yang sejak saisuk, jauh sebelum gempa, sebenarnya telah dijadikan tempat berjualan pedagang kaki lima, sekarang makin padat oleh pedagang entah korban gempa atau apa.
Ada ribuan pedagang di Pasar Raya Padang. Ratusan atau mungkin ribuan pedagang diantaranya mengokupasi trotoar, gang-gang dan bahu jalan. Berjejalan tak beraturan, tak karu-karuan.
Pascagempa 2009 praktis sudah dua orang wali kota tak mampu membenahi Pasar Raya Padang. Tahun 2018, sebentar lagi, kota ini akan kembali memilih wali kotanya. Siapa saja calon yang punya program konkret benahi Pasar Raya Padang dalam waktu tak lebih lima tahun, akan saya pilih, kata saya membatin.
Sementara itu, lagu "Kota" dari Iwan Fals mengalirkan gejolak dari arah speaker mobil, menemaniku berpikir menunggu istri selesai berbelanja, hmm kok lama sekali ya.
"Kota adalah rimba belantara buas dari yang terbuas. Setiap jengkal lorong dan percik darah, darah dari iri, darah dari benci, bahkan darah dari sesuatu yang tak pasti."
Akankah Pasar Raya terus kusut masai seperti ini? Semoga para politisi yang akan berebut kuasa di kota ini mampu menjawabnya dengan program konkret, terukur dan bisa diterapkan.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H