Tak usah ditanya apakah malu atau tidak saat seorang tersangka perkara korupsi ditangkap dan ditahan oleh aparat penegak hukum, dipakaikan rompi oranye, dan digiring dibawah sorotan lampu kamera jurnalis. Pasti malu, kecuali urat malunya sudah putus.
Tapi mengapa mereka, para tersangka korupsi itu, masih bisa menebar senyum, melambaikan tangan ke arah jurnalis dan memberi pernyataan pers dengan nada penuh percaya diri?
Suatu waktu penulis iseng bertanya pada Mr. X, seorang terdakwa korupsi, apa rahasianya tetap tampak tegar sementara hidupnya sedang berada di titik paling bawah? Di mana dulu ia seorang pejabat yang terhormat, lalu tiba-tiba diproses hukum perkara korupsi, dicopot dari jabatan, dan diberitakan di mana-mana.
"Hidup ini panggung sandiwara, Pak. Seperti lagunya Ahmad Albar. Saat ini saya memang memerankan terdakwa perkara korupsi. Tapi di lain waktu saya memerankan seorang pejabat negara yang terhormat. Saya juga memerankan seorang ayah dari keluarga yang bahagia. Saat ini saya memerankan terdakwa korupsi, di lain waktu di masa depan, siapa tahu, ada peran yang lebih baik untuk saya."
Kata-kata filosofis itu menghentak kesadaran. Sangat mungkin apa yang dilakukan Mr. X dalam menata hatinya, menata perasaan, mengendalikan sisi emosi, juga diterapkan oleh para tersangka atau terdakwa korupsi lainnya.
Harus diingat, tidak semua tersangka atau terdakwa korupsi itu benar-benar bersalah melakukan korupsi, maka ada saja yang dibebaskan hakim. Banyak di antaranya tidak bersalah, hanya kesalahan administrasi belaka. Acap terjadi, "terobosan" kesalahan administrasi ditujukan justru untuk menguntungkan negara (dan ini memang berhasil), bukan untuk keuntungan pribadi. Tapi hukum adalah hukum. Di mana ada celah dikasuskan, di situ aparat hukum bertindak. Jadi, tak usah terlalu "baper" saat diproses hukum.
Seorang tersangka korupsi lain lagi, sebut saja Mr. Y, sangat yakin dirinya tidak bersalah, bahwa ia sama sekali tidak merugikan keuangan negara. Di tahanan ia beraktivitas seperti biasa, mengobati orang, bermain catur, main kartu, bersenda gurau, bahkan menulis buku. Hanya fisiknya saja tidak merdeka karena di dalam tahanan, pikiran dan selebihnya tetap merdeka.
Cerita sukses tersangka korupsi menata hati tersebut tidak selalu terjadi. Selalu ada yang gagal menata hatinya. Stres mendapati perubahan peran bak siang dan malam dalam waktu singkat. Pernah terjadi rambut seorang tersangka korupsi tiba-tiba memutih semua hanya dalam hitungan bulan, kalau tak salah ingat hanya dalam waktu enam bulan.
Tapi ada juga tersangka korupsi yang sempat depresi kemudian berbalik berhasil menata hatinya. Tidak berhasil dengan sendirinya, melainkan berkat dukungan dan bantuan tanpa henti dari keluarga terutama istrinya. Istri dan anak-anaknya lah yang gigih berjuang d isaat kepala keluarga terpuruk, melobi pejabat, menemui dan presentasi di depan para ahli dan profesor hukum untuk prospek ahli yang akan dihadirkan di pengadilan, dst.
Lama-lama si tersangka kepala keluarga ini jadi sadar. Ia terpengaruh energi positif dari keluarganya, dari istri dan anak-anaknya. Ia bangkit dan optimis berjuang di pengadilan, apapun kelak hasilnya.
Toh, perkara hukum apapun itu, termasuk korupsi, sisi hukum pembuktian baik dari sisi jaksa maupun terdakwa sebenarnya sudah sama-sama jelas. Tinggal dipaparkan saja di muka hakim. Yang jadi masalah adalah bagaimana menata hati dan pikiran agar terdakwa tetap "waras". Ibarat kata, dari sisi tersangka, perkara hukum itu 20% beraspek hukum (pembuktian) dan 80% justru aspek mental.