Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buni Yani Divonis Penjara Tapi Tak Ditahan, Ini Penjelasannya

14 November 2017   17:01 Diperbarui: 22 November 2017   18:51 4518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buni Yani, terdakwa perkara pelanggaran UU ITE (Foto: Antara/Agus Bebeng)

Terdakwa perkara pelanggaran UU ITE, Buni Yani, divonis bersalah dan dijatuhi pidana selama 1 tahun 6 bulan penjara dalam sidang vonis yang digelar di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip, Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017) siang.

Berbeda dengan Ahok yang divonis bersalah dan langsung ditahan, Buni Yani lebih beruntung. Majelis hakim yang diketuai M Saptono, dalam putusannya, tidak menyatakan penetapan penahanan terhadap Buni Yani. 

Vonis penjara tanpa disertai penahanan demikian hal biasa dalam praktik persidangan perkara pidana. Artinya, bukan hanya terhadap Buni Yani. Banyak perkara-perkara pidana lain terdakwanya tidak ditahan baik sebelum maupun pada saat vonis bersalah dibacakan.

Sebagian teman pada bingung. Kok terdakwa yang divonis penjara tidak ditahan, lantas apa bedanya dengan vonis bebas kalau begitu. Apalagi jika ingat perkara Ahok yang menghebohkan itu.

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses hukum yang sedang berjalan. Tempat penahanan bisa di kota (penahanan kota), di rumah (penahanan rumah) atau di rumah tahanan negara (penahanan rutan).

Konteks penahanan tersebut hanya pada tersangka atau terdakwa, artinya, pada saat perkara sedang berproses di tingkat penyidikan (tersangka di kepolisian atau kejaksaan) dan persidangan (terdakwa di pengadilan). Dan penahanan demikian sifatnya tidak wajib, tergantung pertimbangan atas syarat subjektif dan objektif urgensi penahanan.

Nanti, andai vonis pada tingkat banding atau kasasi menyatakan Buni Yani tetap bersalah dan divonis penjara, dan setelah berkekuatan hukum tetap, maka barulah Buni Yani akan dieksekusi masuk bui di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani masa pidana (andai tak ditambah atau dikurangi) 1 tahun 6 bulan tersebut. Saat inilah status terdakwa berubah menjadi narapidana.

Dari situ menjadi jelas, bahwa penahanan untuk tersangka atau terdakwa, sedangkan penjara untuk narapidana. Penempatannya pun berbeda: penahanan bisa di kota, di rumah atau di rutan; sedangkan pemenjaraan di lembaga pemasyarakatan (LP/Lapas).

Dalam kasus Ahok, si terdakwanya (Ahok) langsung ditahan di rutan pada saat vonis tingkat pertama dibacakan hakim. Kelak, masa penahanan Ahok sebelum vonisnya berkekuatan hukum tetap tersebut akan mengurangi masa pemidanaannya.

Ketika perkara Ahok berkekuatan hukum tetap, maka jaksa melakukan eksekusi dengan "memasukkan" Ahok ke dalam lembaga pemasyarakatan (realisasinya dititipkan di Mako Brimob). Status Ahok telah berubah dari terdakwa menjadi narapidana, konteksnya bukan lagi tahanan melainkan narapidana, dimana Ahok disebut Warga Binaan Pemasyarakatan.

Karena Ahok ditahan, maka otomatis masa penahanan tersebut akan mengurangi masa pemidanaannya. Berbeda andai Ahok tidak ditahan, sebagaimana halnya Buni Yani, maka Ahok harus menjalani seluruh masa pemidanaannya tanpa pengurangan masa penahanan. 

Dalam praktik pengadilan, terdakwa yang divonis penjara tapi tidak ditahan akan jadi keuntungan tersendiri, karena terdakwa bisa bebas leluasa dalam menghadapi kasusnya. 

Keuntungan lain, tapi ini stereotipe, hakim dianggap tidak begitu yakin dengan kesalahan terdakwa sehingga memutuskan tidak menahannya. Sekali lagi, ini hanya stereotipe, belum tentu benar, karena keputusan menahan atau tidak menahan seorang tersangka atau terdakwa didasarkan pada syarat-syarat objektif dan subjektif yang ditentukan undang-undang.(*)

SUTOMO PAGUCI

Artikel terkait:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun