Terdakwa perkara pelanggaran UU ITE, Buni Yani, divonis bersalah dan dijatuhi pidana selama 1 tahun 6 bulan penjara dalam sidang vonis yang digelar di Gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip, Jalan Seram, Kota Bandung, Selasa (14/11/2017) siang.
Berbeda dengan Ahok yang divonis bersalah dan langsung ditahan, Buni Yani lebih beruntung. Majelis hakim yang diketuai M Saptono, dalam putusannya, tidak menyatakan penetapan penahanan terhadap Buni Yani.Â
Vonis penjara tanpa disertai penahanan demikian hal biasa dalam praktik persidangan perkara pidana. Artinya, bukan hanya terhadap Buni Yani. Banyak perkara-perkara pidana lain terdakwanya tidak ditahan baik sebelum maupun pada saat vonis bersalah dibacakan.
Sebagian teman pada bingung. Kok terdakwa yang divonis penjara tidak ditahan, lantas apa bedanya dengan vonis bebas kalau begitu. Apalagi jika ingat perkara Ahok yang menghebohkan itu.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses hukum yang sedang berjalan. Tempat penahanan bisa di kota (penahanan kota), di rumah (penahanan rumah) atau di rumah tahanan negara (penahanan rutan).
Konteks penahanan tersebut hanya pada tersangka atau terdakwa, artinya, pada saat perkara sedang berproses di tingkat penyidikan (tersangka di kepolisian atau kejaksaan) dan persidangan (terdakwa di pengadilan). Dan penahanan demikian sifatnya tidak wajib, tergantung pertimbangan atas syarat subjektif dan objektif urgensi penahanan.
Nanti, andai vonis pada tingkat banding atau kasasi menyatakan Buni Yani tetap bersalah dan divonis penjara, dan setelah berkekuatan hukum tetap, maka barulah Buni Yani akan dieksekusi masuk bui di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani masa pidana (andai tak ditambah atau dikurangi) 1 tahun 6 bulan tersebut. Saat inilah status terdakwa berubah menjadi narapidana.
Dari situ menjadi jelas, bahwa penahanan untuk tersangka atau terdakwa, sedangkan penjara untuk narapidana. Penempatannya pun berbeda: penahanan bisa di kota, di rumah atau di rutan; sedangkan pemenjaraan di lembaga pemasyarakatan (LP/Lapas).
Dalam kasus Ahok, si terdakwanya (Ahok) langsung ditahan di rutan pada saat vonis tingkat pertama dibacakan hakim. Kelak, masa penahanan Ahok sebelum vonisnya berkekuatan hukum tetap tersebut akan mengurangi masa pemidanaannya.
Ketika perkara Ahok berkekuatan hukum tetap, maka jaksa melakukan eksekusi dengan "memasukkan" Ahok ke dalam lembaga pemasyarakatan (realisasinya dititipkan di Mako Brimob). Status Ahok telah berubah dari terdakwa menjadi narapidana, konteksnya bukan lagi tahanan melainkan narapidana, dimana Ahok disebut Warga Binaan Pemasyarakatan.
Karena Ahok ditahan, maka otomatis masa penahanan tersebut akan mengurangi masa pemidanaannya. Berbeda andai Ahok tidak ditahan, sebagaimana halnya Buni Yani, maka Ahok harus menjalani seluruh masa pemidanaannya tanpa pengurangan masa penahanan.Â