Ada perkembangan penting dalam dunia hukum pidana khususnya narkotika. Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No 2081 K/Pid.Sus/2016, Rabu (20/9/2017) lalu, secara tidak langsung mewajibkan penggeledahan kasus narkotika, guna mendapatkan barang bukti, harus disaksikan oleh orang lain selain polisi.
Tiga orang hakim agung MA, yaitu Artidjo Alkostar-Surya Jaya-Sri Murwahyuni, yang memutus perkara atas nama terdakwa Yulius tersebut menyatakan, dalam pertimbangan putusannya, bahwa saksi penggeledahan hanya anggota polisi, maka kesaksian polisi tersebut patut diragukan karena ia tidak netral dan berkepentingan atas kasus itu.
"Keterangan saksi yang seluruhnya dari pihak Kepolisian saja, menerangkan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa, sudah dapat dipastikan memberatkan dan sangat subjektif karena pihak kepolisian mempunyai kepentingan terhadap perkara tersebut," cetus majelis hakim.
Sekalipun sistem hukum pidana Indonesia tidak menganut asas preseden, namun putusan di atas potensial menjadi rujukan penting dalam penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan maupun persidangan perkara narkotika. Tuntutan kesempurnaan dalam proses hukum akan mendorong penegak hukum mengikuti logika hukumnya untuk menghindari kekalahan.
Selama ini, sebenarnya, telah berjalan proses penangkapan tersangka kasus narkotika dengan dihadiri saksi-saksi, biasanya ketua RT/RW setempat. Akan tetapi hal ini belum menjadi norma yang wajib, sehingga masih sering ditemui penggeledahan dan penyitaan barang bukti narkoba tanpa dihadiri oleh warga, hanya polisi saja saksinya.
Ke depan, seluruh penggeledahan kasus narkotika yang dilakukan kepolisian di lingkungan warga, "wajib" disaksikan oleh warga dalam hal ini ketua RT/RW setempat. Sebab jika tidak, maka proses penggeledahan dan barang bukti yang didapatkan terancam dinyatakan tidak sah, terutama apabila tersangka/terdakwa tidak mengakui barang bukti yang didapatkan.
Dalam praktik di lapangan, memang sering terjadi penjebakan atau rekayasa barang bukti yang dilakukan oleh oknum polisi. Modus lazimnya antara lain, oknum polisi meletakkan barang bukti di sekitar target tersangka yang akan ditangkap. Alasan klasiknya, tidak mudah mendapatkan barang bukti langsung pada tersangka.
Dengan perkembangan baru praktik penegakan hukum pidana khususnya narkotika tersebut, maka mau tak mau ketua RT/RW ketiban tugas baru.
Jika selama ini ketua RT/RW hanya mengurus kepentingan warga di internal RT/RW-nya saja, maka ke depan ditambah lagi harus datang jadi saksi ke kantor Polsek, Polres, Polda, BNN dan pengadilan setempat jika di RT/RW-nya ada penggeledahan kasus narkoba dan ia jadi saksi penggeledahan.Â
Setelah proses penyidikan selesai, ketua RT/RW harus ikhlas merelakan waktu (juga ongkos jalan) untuk menghadiri panggilan saksi pada persidangan di pengadilan negeri setempat. Bisa jadi selesai dalam satu kali pemeriksaan atau bisa juga beberapa kali pemeriksaan dalam hari yang berbeda.
Setiap warga negara, termasuk ketua RT/RW, yang telah menyaksikan suatu peristiwa penggeledahan kasus nakotika bersifat wajib menjadi saksi di kepolisian, BNN dan pengadilan. Jika tidak datang tanpa alasan yang sah maka dapat dihadirkan secara paksa dengan bantuan personil kepolisian.