Karakteristik suap sebagai tindak pidana korupsi merupakan perbuatan aktif kedua belah pihak, antara masyarakat dan aparat negara. Siapa yang lebih dahulu memulai bisa dari kedua belah pihak atau salah satu pihak. Yang pasti kedua belah pihak aktif terlibat. Jika kedua belah pihak tidak aktif atau hanya satu pihak saja yang aktif, yang lain keras menolak, maka tidak akan pernah terjadi suap-menyuap.
Karena itu, memutus mata rantai suap-menyuap memang bisa dari salah satu pihak atau kedua belah pihak. Masyarakat bisa memulai untuk tidak mau menerima suap, atau, aparat duluan yang memulai tidak mau menerima suap.
Oke, tapi inilah kompleksitas di lapangan.
Permasalahannya, taruhlah aparat tidak mau menerima suap, tapi jika mentalitas masyarakat belum berubah, maka masyarkat akan cenderung terpancing untuk menyuap, sekalipun aparat sudah menolak disuap.
Loh, bagaimana tidak menyuap, jika sudah teruji dan terbukti, kasih uang suap pada aparat maka urusan jauh lebih lancar dibandingkan masyarakat yang hanya mengucapkan "terima kasih". Lama-lama si aparatnya kan bisa tergoda, ibarat si alim yang berada sekamar dengan gadis cantik.
Jelaslah. Kondisinya kembali berputar-putar ibarat telur dan ayam. Karenanya, mari kita sederhanakan gambaran sebuah tindak pidana korupsi termasuk suap.
Sederhananya begini: tindak pidana korupsi (termasuk suap) terjadi di atau terkait aparat di lembaga negara, karena itu yang harus memulai pertama kali untuk anti suap adalah aparat negara itu sendiri, masyarakat diasumsikan akan mengikut saja.
Logikanya, siapa sih yang mau mengeluarkan uang lebih kepada aparat, jika tanpa memberi uang pun urusan bisa lancar jaya. Kata pepatah: tidak ada makan siang gratis. Ingat, masyarakat tidak punya cetakan uang, jadi tak akan mau beri uang kepada aparat bila urusan lancar tanpa memberi uang, kan si aparatnya sudah digaji oleh negara untuk melaksanakan tugasnya.
Korupsi, apapun bentuknya, menurut Robert Klitgaard dkk (2000) karena ada pemusatan kekuasaan dan kewenangan tapi minus akuntabilitas. Corruption = Monopoly power + Discretion by officials-Accountability(C = M + D-A). Selama rumus ini terpenuhi, maka korupsi, termasuk suap-menyuap, akan terjadi.
Masih menurut Robert Klitgaard dkk, korupsi adalah kejahatan kalkulasi, bukan kejahatan karena dorongan nafsu. Orang cenderung melakukan korupsi bila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar.
Korupsi tak akan berhenti dengan himbauan-himbauan mengenai etika pemerintahan yang baik, ceramah, mengembangkan sikap yang santun, sikap yang baik, dst. Korupsi baru akan minimal bila mengurangi kekuasaan monopoli, membatasi kewenangan, dan meningkatkan keterbukaan.