Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penyuapan: Telur atau Ayam Duluan?

14 September 2017   09:39 Diperbarui: 15 September 2017   12:37 4232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Transparencia.org.ve)

Belakangan ini sedang tren penangkapan pelaku tindak pidana suap, dari berbagai kalangan, mulai dari lembaga tinggi negara (DPD dan MK), pengadilan (hakim dan panitera), advokat, jaksa, polisi, pengusaha, PNS/ASN dan warga biasa. Yang ditangkap oknumnya ya.

Memberi hadiah atau apapun itu namanya, kepada raja, pejabat kerajaan, negara dan penyelenggara negara, sejatinya sudah menjadi tradisi di banyak negara sejak lama, tidak terkecuali di Indonesia. Seiring naiknya peradaban berhukum, perilaku ini dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (baca: dikriminalisasi).

Permasalahan di lapangan, di dunia nyata, di kantor-kantor, dalam pelaksanaan tugas, nampak tendensi saling salahkan antara aparat dan warga, tentang siapa yang terlebih dahulu memulai tidak melakukan suap-menyuap: aparat negara atau masyarakat?

Coba, andai Anda berurusan di kantor pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemda, BPN dll. Adalah pemandangan biasa melihat spanduk atau tulisan ditempel di dinding yang intinya memuat pesan: dilarang memberi suap. Lebih ekstrim lagi, bahkan, ada peraturan begini: dilarang bertamu.

Sudah ada himbauan pada masyarakat agar tidak memberi suap, tip, uang terima kasih, uang rokok, uang pelicin, dsb, saat berurusan dengan aparat. Sehingga jika kemudian terbukti sebaliknya, artinya, masih ada suap-menyuap di sebuah instansi maka dengan mudah oknum aparat menyalahkan masyarakat: sudah jelas ada larangan memberi suap, masih memberi suap.

Jadi, masyarakatlah yang harus tahu diri. Jika masyarakat tidak menyuap aparat barulah si aparatnya bisa terbebas dari larangan suap-menyuap. Andai warga masih juga menyuap, maka aparat adalah manusia biasa, tentu rawan tergoda. Jangan salahkan aparat, kan sudah ada himbauan dilarang menyuap.

Ketika terjaring operasi tangkap tangan (OTT), si aparat merasa tidak melakukan korupsi. "Saya tak makan uang negara, tidak makan uang fakir miskin, tidak makan uang bansos dan tidak makan uang rakyat," ujarnya membela diri. Maksudnya, yang namanya korupsi itu berupa makan uang negara, kalau menerima uang dari masyarakat bukan korupsi.

Padahal, si aparatnya tahu betul bahwa memberi atau menerima suap karena jabatan adalah terlarang secara hukum dan merupakan tindak pidana korupsi. Namun pengetahuan ini tidak sejalan dengan kesadaran hukumnya (atau hanya rasionalisasi?).

Mengutip Lawrence M. Friedman (1984), selalu ada kemungkinan kesenjangan antara substansi hukum dengan budaya hukum. Dimana substansi hukum, aturan, norma jelas melarang penyelenggara negara menerima suap dari masyarakat. Akan tetapi, budaya berhukumnya [sikapnya terhadap hukum dan sistem hukum (kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya)] tidak mencerminkan atau berkebalikan dari substansi hukum.

Saat tersudut dan merasa perlu menyalahkan orang lain, maka yang salah adalah masyarakat, mengapa masyarakat menyuap aparat. Dirinya sendiri tidak merasa bersalah, karena tidak mencuri uang negara, uang itu kan dari masyarkat biasa.

Perdebatan begini seumpama mana yang lebih duluan, telur atau ayam? Berputar, melingkar, tak ketemu ujungnya. Terjadi tindak pidana suap karena masyarakat yang gemar menyuap atau karena aparat rentan disuap? Siapa yang harus lebih dahulu menghentikan mata rantai suap-menyuap ini, masyarakat atau aparat duluan?

Karakteristik suap sebagai tindak pidana korupsi merupakan perbuatan aktif kedua belah pihak, antara masyarakat dan aparat negara. Siapa yang lebih dahulu memulai bisa dari kedua belah pihak atau salah satu pihak. Yang pasti kedua belah pihak aktif terlibat. Jika kedua belah pihak tidak aktif atau hanya satu pihak saja yang aktif, yang lain keras menolak, maka tidak akan pernah terjadi suap-menyuap.

Karena itu, memutus mata rantai suap-menyuap memang bisa dari salah satu pihak atau kedua belah pihak. Masyarakat bisa memulai untuk tidak mau menerima suap, atau, aparat duluan yang memulai tidak mau menerima suap.

Oke, tapi inilah kompleksitas di lapangan.

Permasalahannya, taruhlah aparat tidak mau menerima suap, tapi jika mentalitas masyarakat belum berubah, maka masyarkat akan cenderung terpancing untuk menyuap, sekalipun aparat sudah menolak disuap.

Loh, bagaimana tidak menyuap, jika sudah teruji dan terbukti, kasih uang suap pada aparat maka urusan jauh lebih lancar dibandingkan masyarakat yang hanya mengucapkan "terima kasih". Lama-lama si aparatnya kan bisa tergoda, ibarat si alim yang berada sekamar dengan gadis cantik.

Jelaslah. Kondisinya kembali berputar-putar ibarat telur dan ayam. Karenanya, mari kita sederhanakan gambaran sebuah tindak pidana korupsi termasuk suap.

Sederhananya begini: tindak pidana korupsi (termasuk suap) terjadi di atau terkait aparat di lembaga negara, karena itu yang harus memulai pertama kali untuk anti suap adalah aparat negara itu sendiri, masyarakat diasumsikan akan mengikut saja.

Logikanya, siapa sih yang mau mengeluarkan uang lebih kepada aparat, jika tanpa memberi uang pun urusan bisa lancar jaya. Kata pepatah: tidak ada makan siang gratis. Ingat, masyarakat tidak punya cetakan uang, jadi tak akan mau beri uang kepada aparat bila urusan lancar tanpa memberi uang, kan si aparatnya sudah digaji oleh negara untuk melaksanakan tugasnya.

Korupsi, apapun bentuknya, menurut Robert Klitgaard dkk (2000) karena ada pemusatan kekuasaan dan kewenangan tapi minus akuntabilitas. Corruption = Monopoly power + Discretion by officials-Accountability(C = M + D-A). Selama rumus ini terpenuhi, maka korupsi, termasuk suap-menyuap, akan terjadi.

Masih menurut Robert Klitgaard dkk, korupsi adalah kejahatan kalkulasi, bukan kejahatan karena dorongan nafsu. Orang cenderung melakukan korupsi bila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar.

Korupsi tak akan berhenti dengan himbauan-himbauan mengenai etika pemerintahan yang baik, ceramah, mengembangkan sikap yang santun, sikap yang baik, dst. Korupsi baru akan minimal bila mengurangi kekuasaan monopoli, membatasi kewenangan, dan meningkatkan keterbukaan.

Intinya, mulailah dari lembaga negara. Masyarakat akan ikut.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun