Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fidelis Divonis Bebas Andai Hakim Gunakan Ajaran Hukum Ini

15 Agustus 2017   12:53 Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:35 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan

Para ahli hukum pidana baik dari kalangan akademisi maupun praktisi hingga kini sebenarnya sudah sepakat bahwa ajaran perbuatan melawan hukum materil (materiele wederechtelijkheid) dalam fungsi negatif dapat diterapkan dalam kasus aktual.

Ajaran hukum ini pada intinya menggariskan, meskipun suatu perbuatan telah memenuhi unsur formil suatu pasal undang-undang (perbuatannya formil melawan hukum), maka tidak selalu pelaku dapat dipidana jika ada perkecualian berdasarkan aturan hukum tidak tertulis atau materil tidak melawan hukum.

Dengan kata lain, penerapan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif merupakan alasan penghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan (straftuitsluitings-grond) atau alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana (rechtvaardigings-grond).

Sisi materil yang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan adalah pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat bahwa perbuatan tersebut tidaklah tercela atau dapat dibenarkan.

Adapun kriteria dan syarat penerapan ajaran hukum materil dalam fungsi positif dapat dirujuk pendapat ahli hukum terkemuka, seperti Th. W. Van Veen, Langemeyer dan J.M. Van Bemmelen.

Menurut Th. W. Van Veen, kriterianya: pendapat hakim bahwa pembentuk undang-undang sendiri andai menghadapi persoalan ini sudah pasti dibuatnya perkecualian atau hakim berpendapat perbuatan terdakwa memiliki tujuan yang baik dan dapat dibenarkan.

Sementara Langemeyer dan Van Bemmelen ajukan kriteria: perbuatan terdakwa lebih menguntungkan dibanding merugikan. 

Pada awalnya, ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif pertama kali diterapkan dalam kasus aktual dalam perkara yang dikenal dengan Arrest Dokter Hewan di kota Huizen, Belanda, berdasarkan putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 20 Februari 1933.

Seorang dokter hewan mencampur 7 ekor sapi sehat ke dalam kumpulan sapi yang telah terjangkit penyakit, dengan pertimbangan supaya ke 7 ekor sapi tersebut tidak terjangkiti penyakit saat mengeluarkan susu, sebab jika sampai sapi-sapi itu diserang penyakit menular itu ketika mengeluarkan susu maka sapi-sapi itu akan mengalami penderitaan yang amat sangat dan lebih rawan menularkan secara lebih luas lagi. Cuma itu satu-satunya jalan.

Pemilik sapi menuntut si dokter hewan berdasarkan Pasal 82 Veetwet (undang-undang tentang Hewan) karena semua sapinya terjangkiti penyakit menular. Di tingkat pertama dan banding, si dokter hewan dinyatakan bersalah. Namun di tingkat Hoge Raad, hakim membebaskan dokter hewan tsb.

Alasan Mahkamah Agung Belanda, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang memenuhi rumusan pasal undang-undang tidak selalu harus dijatuhi pidana, meskipun tidak terdapat pengecualian di dalam undang-undang, apabila perbuatan tersebut secara materil tidak tercela.

Atas dasar itu, sekalipun perbuatan dokter hewan itu telah jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 82 Veetwet, akan tetapi perbuatan dokter hewan itu dapat dibenarkan sehingga perbuatannya tidak mengandung sifat melawan hukum secara materil, karena perbuatan dokter hewan itu telah sesuai dengan pengetahuan keahliannya.

Oleh karena sistem hukum pidana umum Indonesia mengadopsi hukum pidana Belanda, maka ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif tersebut, pun, berlaku dalam kasus-kasus aktual di Indonesia.

Ambil contoh perbuatan petugas kesehatan atau penyuluh yang menyebarluaskan alat-alat pencegah kehamilan, ini jelas melanggar Pasal 283 Ayat (1) KUHP, sehingga perbuatan ini formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau tidak melawan hukum atau dapat dibenarkan atau dapat diterima, karena keluarga berencana (KB) merupakan program Nasional.

Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto (39), yang menanam atau memiliki 39 batang ganja, jelas memenuhi unsur atau melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jadi formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau dapat dibenarkan karena ganja itu dipergunakan untuk mengobati penyakit Syringomyeila yang diderita istrinya.

Pengobatan penyakit Syringomyeila dengan menggunakan ekstrak ganja telah dikenal luas di dunia. Fidelis terbukti menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya, bukan untuk yang lain.

Kecuali ada bukti bahwa ganja yang ditanam Fidelis tersebut digunakan sendiri oleh ybs untuk kesenangan pribadi atau dijual untuk mendapatkan manfaat ekonomis, maka dalam kasus begini jelas memenuhi unsur pasal sekaligus tercela secara materil. Namun yang terjadi tidak demikian.

Dalam kasus begini, idealnya, hakim berani memutus terdakwa dengan vonis bebas dengan alasan perbuatan tersebut formil melawan hukum tapi materil dapat dibenarkan, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Jangan lupa (harus selalu diingat) pondasi filosofis ini. Bahwa setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah frase berbunyi "Untuk Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Bismar Siregar, irah-irah itu bermakna sumpah yang merupakan roh putusan. Dengan demikian, putusan hakim selalu untuk keadilan, bukan untuk hal lain, termasuk bukan untuk undang-undang.

Pun, Pasal 5 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasan pasalnya telah mewanti-wanti agar hakim dalam membuat putusan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum ini untuk mengantisipasi hakim terjebak menjadi semata-mata corong undang-undang dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

Mengapa penting? Sebab, tujuan tertinggi dari hukum adalah sarana atau alat untuk menghadirkan keadilan. Hukum bukan untuk hukum itu sendiri. Jadi, adalah tercela jika hakim semata-mata menjadi corong undang-undang dengan mengabaikan asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.

Memutus Fidelis bersalah karena perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas hakimnya menganut pandangan formil dan lebih mementingkan undang-undang atau menjadi corong undang-undang ketimbang asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, menjatuhkan vonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 bulan penjara kepada Fidelis, terdakwa kasus kepemilikan 39 batang ganja untuk pengobatan istrinya, Rabu (2/8/2017) lalu.(*)

SUTOMO PAGUCI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun