Atas dasar itu, sekalipun perbuatan dokter hewan itu telah jelas-jelas memenuhi unsur Pasal 82 Veetwet, akan tetapi perbuatan dokter hewan itu dapat dibenarkan sehingga perbuatannya tidak mengandung sifat melawan hukum secara materil, karena perbuatan dokter hewan itu telah sesuai dengan pengetahuan keahliannya.
Oleh karena sistem hukum pidana umum Indonesia mengadopsi hukum pidana Belanda, maka ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif tersebut, pun, berlaku dalam kasus-kasus aktual di Indonesia.
Ambil contoh perbuatan petugas kesehatan atau penyuluh yang menyebarluaskan alat-alat pencegah kehamilan, ini jelas melanggar Pasal 283 Ayat (1) KUHP, sehingga perbuatan ini formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau tidak melawan hukum atau dapat dibenarkan atau dapat diterima, karena keluarga berencana (KB) merupakan program Nasional.
Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto (39), yang menanam atau memiliki 39 batang ganja, jelas memenuhi unsur atau melanggar Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jadi formil melawan hukum, akan tetapi secara materil tidaklah tercela atau dapat dibenarkan karena ganja itu dipergunakan untuk mengobati penyakit Syringomyeila yang diderita istrinya.
Pengobatan penyakit Syringomyeila dengan menggunakan ekstrak ganja telah dikenal luas di dunia. Fidelis terbukti menggunakan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya, bukan untuk yang lain.
Kecuali ada bukti bahwa ganja yang ditanam Fidelis tersebut digunakan sendiri oleh ybs untuk kesenangan pribadi atau dijual untuk mendapatkan manfaat ekonomis, maka dalam kasus begini jelas memenuhi unsur pasal sekaligus tercela secara materil. Namun yang terjadi tidak demikian.
Dalam kasus begini, idealnya, hakim berani memutus terdakwa dengan vonis bebas dengan alasan perbuatan tersebut formil melawan hukum tapi materil dapat dibenarkan, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
Jangan lupa (harus selalu diingat) pondasi filosofis ini. Bahwa setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah frase berbunyi "Untuk Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Bismar Siregar, irah-irah itu bermakna sumpah yang merupakan roh putusan. Dengan demikian, putusan hakim selalu untuk keadilan, bukan untuk hal lain, termasuk bukan untuk undang-undang.
Pun, Pasal 5 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut penjelasan pasalnya telah mewanti-wanti agar hakim dalam membuat putusan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Norma hukum ini untuk mengantisipasi hakim terjebak menjadi semata-mata corong undang-undang dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Mengapa penting? Sebab, tujuan tertinggi dari hukum adalah sarana atau alat untuk menghadirkan keadilan. Hukum bukan untuk hukum itu sendiri. Jadi, adalah tercela jika hakim semata-mata menjadi corong undang-undang dengan mengabaikan asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.
Memutus Fidelis bersalah karena perbuatannya dinilai telah memenuhi unsur Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 116 Ayat (1) dan (3) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah jelas hakimnya menganut pandangan formil dan lebih mementingkan undang-undang atau menjadi corong undang-undang ketimbang asas keadilan dan rasa keadilan masyarakat.