Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Stop Komersialisasi Gunung Secara Berlebihan

21 Mei 2017   14:52 Diperbarui: 21 Mei 2017   17:16 1796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Titik awal pendakian gunung Dempo di Kampung IV, Pagaralam, Sumsel (dokpri)

Penulis alias SP masih ingat. Dulu, kurun tahun 2000 ke bawah, banyak gunung yang tak perlu membayar untuk mendakinya, cukup lapor pada aparat setempat atau juru kunci gunung sebelum pendakian dimulai. Sekarang masih ada gunung yang demikian, tapi makin sedikit.

Sekitar tahun 2005 ke atas booming pendakian gunung di Indonesia dimulai. Sejak saat tersebut banyak gunung mengalami komersialisasi luar biasa, segalanya dinilai dengan uang, mulai tiket masuk, parkir, berkemah, air bersih, sampai berfoto.

Dalam batas wajar biaya dalam pendakian masih dapat dimaklumi. Negara berwenang mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari aktivitas pendakian di kawasan konservasi atau taman nasional. Pun demikian gunung-gunung yang dikelola pendakiannya oleh masyarakat setempat.

Start pendakian meninggalkan pos pendaftaran Singgalang (dokpri)
Start pendakian meninggalkan pos pendaftaran Singgalang (dokpri)
Ini sekedar contoh. Pertengahan 2016 lalu banyak para pendaki menjerit, terbelalak nyaris tak percaya, menyaksikan komersialisasi yang dianggap “gila-gilaan” di gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Hal mana sejak pengelolaan pendakian gunung ini diserahkan pada badan hukum swasta yaitu PT Asri Indah Lestari (PT AIL).

Per 5 Juli 2016 lalu aneka biaya dikenakan untuk berbagai aktivitas pendakian di gunung Papandayan, yang jumlahnya mencengangkan. Dihari libur seorang pendaki Nusantara tidak kurang mengeluarkan biaya Rp97.000 (dulu cuma Rp15.000) untuk tarif masuk kendaraan, tiket masuk, tiket berkemah, dan tiket parkir roda dua. Untuk pendaki mancanegara jauh lebih mahal lagi.

Di banyak gunung lain komersialisasi “berlebihan” demikian juga terjadi. Di gunung Singgalang, Sumatera Barat, misalnya, di sini tarif parkir kendaraan roda empat mencapai Rp.50.000, sedangkan roda dua Rp30.000. Mahalnya tarif parkir ini banyak dikeluhkan pendaki.

Tidak semua gunung mengalami komersialisasi berlebihan. Bandingkan dengan pengelola gunung Dempo yang memberikan tarif murah hati pada para peziarah: tarif pendakian Rp2000/orang dan tarif menginap di balai penginapan Rp2000/malam.

Titik awal pendakian gunung Dempo di Kampung IV, Pagaralam, Sumsel (dokpri)
Titik awal pendakian gunung Dempo di Kampung IV, Pagaralam, Sumsel (dokpri)
Gunung Latimojong, yang nota bene salah satu tujuan penting pendakian di Indonesia, karena masuk dalam jajaran puncak tertinggi di Indonesia untuk wilayah Sulawesi, malah tak menerapkan tarif masuk atau gratis. Cukup lapor pada Polsek di Baraka sebelum dan sesudah pendakian.

Gunung sejatinya adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, sang pencipta jagad raya, bukan buatan negara, bukan ciptaan manusia. Manusia tak butuh modal untuk menciptakan gunung, cukup menjaganya saja. Sehingga patut dipertanyakan secara moral komersialisasi berlebihan terhadap aktivitas pendakian gunung.

Pendakian gunung umumnya juga bukan aktivitas komersial, melainkan lebih ke aktivitas olah raga dan rekreasi, dengan memanfaatkan alam ciptaan Tuhan. Beberapa pendakian bahkan merupakan aktivitas spiritual, rohania, dan pencarian hakikat hidup. Sama sekali tidak mendapat keuntungan komersial dari aktivitas pendakian begini.

Mengurus perizinan pendakian gunung Semeru (dokpri)
Mengurus perizinan pendakian gunung Semeru (dokpri)
Kebanyakan pendaki di Indonesia juga bukan berasal dari ekonomi mapan, banyak diantaranya pelajar, mahasiswa, pekerja kantoran dengan penghasilan pas-pasan, bahkan pengangguran. Namun pengenaan tarif dipukul rata. Masuk akal ada pendaki Papandayan balik kanan pas mengetahui tingginya berbagai tarif yang dikenakan.

Di sebuah warung bakso di Ranu Pani, Lumajang, Jawa Timur, di depan pos pendaftaran pendakian gunung Semeru, suatu hari di masa lalu, air minum setelah makan bakso pun harus bayar. Sekalipun sudah belanja makan bakso, air segelas pun tak diberi, maksudnya supaya beli air mineral botolan.

“Bu,” kata seorang pengunjung, “bermurah hatilah pada peziarah”. Barulah pengunjung itu diberi air segelas, itupun dengan muka cemberut si pemilik warung.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun