Penulis alias SP masih ingat. Dulu, kurun tahun 2000 ke bawah, banyak gunung yang tak perlu membayar untuk mendakinya, cukup lapor pada aparat setempat atau juru kunci gunung sebelum pendakian dimulai. Sekarang masih ada gunung yang demikian, tapi makin sedikit.
Sekitar tahun 2005 ke atas booming pendakian gunung di Indonesia dimulai. Sejak saat tersebut banyak gunung mengalami komersialisasi luar biasa, segalanya dinilai dengan uang, mulai tiket masuk, parkir, berkemah, air bersih, sampai berfoto.
Dalam batas wajar biaya dalam pendakian masih dapat dimaklumi. Negara berwenang mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari aktivitas pendakian di kawasan konservasi atau taman nasional. Pun demikian gunung-gunung yang dikelola pendakiannya oleh masyarakat setempat.
Per 5 Juli 2016 lalu aneka biaya dikenakan untuk berbagai aktivitas pendakian di gunung Papandayan, yang jumlahnya mencengangkan. Dihari libur seorang pendaki Nusantara tidak kurang mengeluarkan biaya Rp97.000 (dulu cuma Rp15.000) untuk tarif masuk kendaraan, tiket masuk, tiket berkemah, dan tiket parkir roda dua. Untuk pendaki mancanegara jauh lebih mahal lagi.
Di banyak gunung lain komersialisasi “berlebihan” demikian juga terjadi. Di gunung Singgalang, Sumatera Barat, misalnya, di sini tarif parkir kendaraan roda empat mencapai Rp.50.000, sedangkan roda dua Rp30.000. Mahalnya tarif parkir ini banyak dikeluhkan pendaki.
Tidak semua gunung mengalami komersialisasi berlebihan. Bandingkan dengan pengelola gunung Dempo yang memberikan tarif murah hati pada para peziarah: tarif pendakian Rp2000/orang dan tarif menginap di balai penginapan Rp2000/malam.
Gunung sejatinya adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, sang pencipta jagad raya, bukan buatan negara, bukan ciptaan manusia. Manusia tak butuh modal untuk menciptakan gunung, cukup menjaganya saja. Sehingga patut dipertanyakan secara moral komersialisasi berlebihan terhadap aktivitas pendakian gunung.
Pendakian gunung umumnya juga bukan aktivitas komersial, melainkan lebih ke aktivitas olah raga dan rekreasi, dengan memanfaatkan alam ciptaan Tuhan. Beberapa pendakian bahkan merupakan aktivitas spiritual, rohania, dan pencarian hakikat hidup. Sama sekali tidak mendapat keuntungan komersial dari aktivitas pendakian begini.
Di sebuah warung bakso di Ranu Pani, Lumajang, Jawa Timur, di depan pos pendaftaran pendakian gunung Semeru, suatu hari di masa lalu, air minum setelah makan bakso pun harus bayar. Sekalipun sudah belanja makan bakso, air segelas pun tak diberi, maksudnya supaya beli air mineral botolan.
“Bu,” kata seorang pengunjung, “bermurah hatilah pada peziarah”. Barulah pengunjung itu diberi air segelas, itupun dengan muka cemberut si pemilik warung.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H