Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Money

"FERA", Tiwul Cinta dari Ponorogo

10 November 2016   15:32 Diperbarui: 10 November 2016   16:05 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tiwul hangat siap disantap (dokpri)"][/caption]Melalui percakapan pesan Facebook, saya memesan tiwul instan "FERA" dari pengrajinnya langsung, Fera Nuraini, pengusaha muda penuh harapan sekaligus eks buruh migran dari Hongkong dan seorang Kompasianer.

Percakapan pesan Facebook tersebut menghubungkan saya yang tinggal di Padang dengan Mbak Fera Nuraini yang tinggal di Ponorogo. Ya, tiwul instan "FERA" dibuat di Desa Kunti, Ponorogo, Jawa Timur.

[caption caption="Tiwul instan "FERA" siap dikirim (Foto: Fera Nuraini)"]

[/caption]***

Sejenak kilas balik. Bagi saya tiwul adalah makanan dari masa lalu. Saat masih kecil, kira-kira usia sekolah dasar, saya biasa makan tiwul di rumah teman-teman asli Jawa yang bertransmigran di Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu.

Tiwul itu dibuat dari ketela beracun yang daunnya berwarna kehitaman. Tapi rasanya sangat enak, kenyal-kenyal, lebih enak dan kenyal dibandingkan tiwul dari ubi kayu biasa.

Cara membuatnya pun sangat mudah. Bahan tiwul dari ubi yang telah kering dihaluskan lalu dikukus campur sedikit beras. Kata temanku, makan tiwul adalah cara untuk menghemat beras.

Karena merasa enak, akhirnya saya biasa membeli tiwul yang dijual di Pasar Minggu, Desa Margasakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu, kurun 1980-an sampai 1990-an. Haha lengkap tempatnya.

Setamat SMP saya sekolah di ibu kota propinsi yaitu Bengkulu. Sejak itulah saya tak pernah lagi makan tiwul. Tapi walau begitu, rasa tiwul telah mengendap dalam lidah kenangan. Ada saat-saat tertentu kepengen masakan ibu atau makanan dari masa kecil, termasuk tiwul.

Berpuluh tahun berlalu. Setelah tinggal di Padang barulah saya kembali bisa merasakan tiwul, beli di internet secara online.

***

[caption caption="Tiwul dimakan dengan gulai ayam kampung (dokpri)"]

[/caption]Pertama kali tiwul hangat itu terkecap lidah, saya merasakan sensasi kembali ke masa lalu, ke masa kecil di Bengkulu Utara dulu, seperti adegan dalam film Ratatouille.

Tekstur begitu kenyal, ada asin-asinya (karena dikasih garam...hehe), dan mengenyangkan layaknya makan nasi. Saya biasa memakannya ganti nasi putih, sebagai variasi. Bosan makan nasi terus.

Dengan taburan parutan kelapa muda, dengan cepat tiwul 250 gram ludes tanpa sisa. Kadang saya makan dengan ikan, sayur, rendang dll layaknya makan nasi. Kadang dua kali sehari: pagi dan sore/malam.

Kebenaran kota Padang dan sekitarnya akhir-akhir ini sering hujan. Makan tiwul hangat dalam cuaca dingin ternyata sangat enak. Bahkan timbul ide untuk menjadikan tiwul makanan instan saat mendaki gunung. Kayaknya enak dan seru, makan tiwul di ketinggian, sambil menjuntaikan kaki di celah awan puncak gunung.

***

[caption caption="Suasana puncak gunung Talang, Solok, Sumatera Barat (dokpri)"]

[/caption]Namanya juga tiwul instan, tentunya sangat mudah dan tak butuh waktu lama untuk memasaknya, mirip mie instan. Petunjuk cara memasak di kemasan disebutkan: tiwul dicuci bersih, rendam selama 3 menit; tiriskan, kukus selama 20 menit.

Namun dari percobaan yang saya lakukan, ada modifikasi cara memasak yang cocok untuk saya, mungkin tidak cocok bagi yang lain.

Modifikasi cara masaknya: tiwul cukup dicuci bersih dan langsung dikukus. Tidak perlu direndam sampai 3 menit, karena pernah coba direndam 3 menit sebelum dikukus, hasilnya tiwul masak berair terlalu lunak, tidak kenyal lagi.

***

Sekalipun tiwul instan, tapi pembuatannya, seperti dituturkan Mbak Fera, dilakukan manual, tidak pakai mesin. Dan karena dikerjakan sendiri, ini yang istimewa, tiwul tsb dibuat dengan penuh cinta dan kasih dari pembuatnya. Haha.

Bukan lebay. Ini beneran loh ya. Tiwul "FERA" adalah tiwul cinta. Pada setiap butirannya ada cinta di sana, cinta kasih kemanusiaan pada sesama. Seperti dituturkan Mbak Fera, 5% dari keuntungan penjualan akan disumbangkan untuk kemanusiaan, kaum dhuafa, yang disalurkan melalui Kabar Bumi Ponorogo. Hebat kan. Berbisnis sambil beramal.

Bagi yang berminat merasakan Tiwul Cinta dari Ponorogo, Monggo, silakan SMS/WA orangnya langsung, biasanya cepat direspon, di nomor ini: +6281252019191. Harga relatif murah, cuma Rp8.000/bungkus.

Tiwul cocok dikonsumsi penderita diabetes, maag dan orang yang sedang diet.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun