Tekstur begitu kenyal, ada asin-asinya (karena dikasih garam...hehe), dan mengenyangkan layaknya makan nasi. Saya biasa memakannya ganti nasi putih, sebagai variasi. Bosan makan nasi terus.
Dengan taburan parutan kelapa muda, dengan cepat tiwul 250 gram ludes tanpa sisa. Kadang saya makan dengan ikan, sayur, rendang dll layaknya makan nasi. Kadang dua kali sehari: pagi dan sore/malam.
Kebenaran kota Padang dan sekitarnya akhir-akhir ini sering hujan. Makan tiwul hangat dalam cuaca dingin ternyata sangat enak. Bahkan timbul ide untuk menjadikan tiwul makanan instan saat mendaki gunung. Kayaknya enak dan seru, makan tiwul di ketinggian, sambil menjuntaikan kaki di celah awan puncak gunung.
***
[caption caption="Suasana puncak gunung Talang, Solok, Sumatera Barat (dokpri)"]
Namun dari percobaan yang saya lakukan, ada modifikasi cara memasak yang cocok untuk saya, mungkin tidak cocok bagi yang lain.
Modifikasi cara masaknya: tiwul cukup dicuci bersih dan langsung dikukus. Tidak perlu direndam sampai 3 menit, karena pernah coba direndam 3 menit sebelum dikukus, hasilnya tiwul masak berair terlalu lunak, tidak kenyal lagi.
***
Sekalipun tiwul instan, tapi pembuatannya, seperti dituturkan Mbak Fera, dilakukan manual, tidak pakai mesin. Dan karena dikerjakan sendiri, ini yang istimewa, tiwul tsb dibuat dengan penuh cinta dan kasih dari pembuatnya. Haha.
Bukan lebay. Ini beneran loh ya. Tiwul "FERA" adalah tiwul cinta. Pada setiap butirannya ada cinta di sana, cinta kasih kemanusiaan pada sesama. Seperti dituturkan Mbak Fera, 5% dari keuntungan penjualan akan disumbangkan untuk kemanusiaan, kaum dhuafa, yang disalurkan melalui Kabar Bumi Ponorogo. Hebat kan. Berbisnis sambil beramal.
Bagi yang berminat merasakan Tiwul Cinta dari Ponorogo, Monggo, silakan SMS/WA orangnya langsung, biasanya cepat direspon, di nomor ini: +6281252019191. Harga relatif murah, cuma Rp8.000/bungkus.