DALAM PERSPEKTIF hukum acara pidana, keterangan ahli pada dasarnya hanya untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat persidangan, jadi bukan untuk membuktikan siapa pelaku tindak pidana dan apakah si pelaku bersalah atau tidak.
Untuk membuktikan siapa pelaku suatu tindak pidana diperlukan alat bukti yang bersifat material (bukti fisik), yaitu alat bukti berupa keterangan saksi fakta, surat dan pengakuan terdakwa. Saksi adalah orang yang melihat langsung, mendengar atau mengalami langsung kejadian.
Dalam kasus pidana dengan korban diduga mati akibat keracunan, dengan merujuk Pasal 133 Ayat (1) KUHAP, keterangan ahli (ahli kimia dan dokter) berfungsi untuk menerangkan penyebab kematian apakah benar akibat keracunan. Ahli-ahli lain sifatnya pelengkap saja.
Dalam kasus tindak pidana pemalsuan surat, berdasarkan Pasal 132 Ayat (1) KUHAP, keterangan ahli berfungsi untuk menerangkan prinsip-prinsip keilmuan hubungannya apakah suatu dokumen identik atau tidak dengan aslinya, jadi bukan untuk membuat kesimpulan bahwa suatu dokumen adalah palsu atau tidak dan tersangka/terdakwa pelakunya.
Keterangan ahli jiwa hanya menerangkan perspektif ilmu jiwa terhadap diri tersangka atau terdakwa, bukan untuk membuktikan bahwa tersangka/terdakwa yang melakukan suatu perbuatan pidana.
Keterangan ahli keuangan negara (auditor) dalam suatu tindak pidana korupsi hanya untuk menerangkan apakah ada kerugian keuangan negara atau tidak, bukan untuk membuktikan suatu kerugian bersifat melawan hukum atau tidak, dan bukan untuk membuktikan tersangka/terdakwa yang bersalah sebagai penyebab timbul kerugian.
Sebab, yang menilai suatu kerugian bersifat melawan hukum atau bukan, adalah hakim. Begitupun yang menilai apakah kerugian tersebut diakibatkan secara langsung oleh terdakwa sehingga dapat dipersalahkan pada diri terdakwa, juga adalah kavling tugas hakim.
Dalam praktik perkara pidana, yang biasa terjadi di lapangan, keterangan ahli sering kali diposisikan seolah alat bukti material untuk membuktikan apakah seseorang tersangka/terdakwa benar melakukan suatu tindak pidana.
Ambil contoh dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Titik rawannya adalah: keterangan ahli-ahli yang cukup banyak jumlahnya tsb dapat saja dihubung-hubungan sedemikian rupa oleh penyidik atau penuntut umum untuk menyimpulkan bahwa terdakwa Jessica sebagai pelakunya.Â
Titik rawan demikian terutama dalam situasi ketika tidak ada bukti material (saksi-saksi dan dokumen) yang dengan tegas dan jelas menyebut si tersangka/terdakwa-lah pelakunya. Saksi-saksi memang ada tapi tidak langsung melihat tersangka/terdakwa menarok racun, misalnya, melainkan sekedar mengetahui waktu dan keadaan pada saat peristiwa terjadi.
Jadilah tuntutan pidana disusun berdasarkan opini jaksa, bukan berdasarkan bukti fisik/material. Harusnya, suatu tindak pidana, apakah benar telah terjadi atau tidak, haruslah didasarkan bukti fisik/material, bukan berdasarkan pendapat atau opini-opini, baik opini jaksa, opini penasehat hukum, opini ahli, dan opini hakim.
Jumlah alat bukti fisik/material tersebut minimal 2 (dua), misalnya: 10 saksi (bernilai satu alat bukti) ditambah 1 surat/dokumen (bernilai satu alat bukti); atau 100 saksi ditambah keterangan terdakwa. Dua alat bukti tersebut harus bersesuaian satu sama lain sehingga terbangun konstruksi hukum dari peristiwa pidana yang didakwakan.
Dalam tindak pidana korupsi sangat sering terjadi terdakwa dijatuhi pidana sekian tahun berdasarkan opini hakim, bukan berdasarkan bukti material yang bersifat pidana. Dalam kasus begini biasanya terjadi ketika niat jahat terdakwa tidak terbukti dan kerugian keuangan negara bersifat debatable (tidak meyakinkan).
Misalnya, yang terbukti adalah pelanggaran administrasi semata-mata. Namun oleh hakim ditafsirkan (beropini) bahwa pelanggaran administratif itu merupakan tindak pidana korupsi. Padahal, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Admnistrasi Pemerintahan, pelanggaran administratif murni tidak berkonsekuensi pidana (termasuk bukan tindak pidana korupsi).
Pembuktian yang abu-abu membuat opini akhirnya menjadi pegangan hakim, bukan bukti material. Opini-opini demikian, biasanya, akan tergambar jelas di surat tuntutan dan putusan hakim (terutama saat pembahasan unsur-unsur pasal yang didakwakan).
Opini membuat segalanya menjadi rumit. Hal yang seharusnya sangat sederhana menjadi kusut masai dan tak jelas standar patokannya, karena tak lebih hanya opini. Dan opini itu, kita tahu, bersifat subjektif.
Sejatinya, pembuktian suatu tindak pidana amat sederhana: ada minimal 2 (dua) alat bukti material bahwa terdakwa adalah pelakunya. Jika ditemukan dua alat bukti yang tak terbantahkan bahwa seseorang benar melakukan suatu tindak pidana, maka baru dicari apakah kepada pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan itu atau tidak.
Karena itu, jika ketat memegang hukum pembuktian, maka persidangan perkara pidana harusnya tidak bertele-tele sampai berbulan-bulan bahkan tembus satu tahun atau lebih.Â
Tapi sistem persidangan pidana di Indonesia memang bertele-tele: pembacaaan dakwaan, eksepsi, jawaban, putusan sela, pembuktian, tuntutan, pledoi, replik, duplik, baru putusan hakim. Panjang seperti kereta api. Sistem ini benar yang nampaknya perlu diubah lebih disederhanakan, jelas dan tegas.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H