Jumlah alat bukti fisik/material tersebut minimal 2 (dua), misalnya: 10 saksi (bernilai satu alat bukti) ditambah 1 surat/dokumen (bernilai satu alat bukti); atau 100 saksi ditambah keterangan terdakwa. Dua alat bukti tersebut harus bersesuaian satu sama lain sehingga terbangun konstruksi hukum dari peristiwa pidana yang didakwakan.
Dalam tindak pidana korupsi sangat sering terjadi terdakwa dijatuhi pidana sekian tahun berdasarkan opini hakim, bukan berdasarkan bukti material yang bersifat pidana. Dalam kasus begini biasanya terjadi ketika niat jahat terdakwa tidak terbukti dan kerugian keuangan negara bersifat debatable (tidak meyakinkan).
Misalnya, yang terbukti adalah pelanggaran administrasi semata-mata. Namun oleh hakim ditafsirkan (beropini) bahwa pelanggaran administratif itu merupakan tindak pidana korupsi. Padahal, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Admnistrasi Pemerintahan, pelanggaran administratif murni tidak berkonsekuensi pidana (termasuk bukan tindak pidana korupsi).
Pembuktian yang abu-abu membuat opini akhirnya menjadi pegangan hakim, bukan bukti material. Opini-opini demikian, biasanya, akan tergambar jelas di surat tuntutan dan putusan hakim (terutama saat pembahasan unsur-unsur pasal yang didakwakan).
Opini membuat segalanya menjadi rumit. Hal yang seharusnya sangat sederhana menjadi kusut masai dan tak jelas standar patokannya, karena tak lebih hanya opini. Dan opini itu, kita tahu, bersifat subjektif.
Sejatinya, pembuktian suatu tindak pidana amat sederhana: ada minimal 2 (dua) alat bukti material bahwa terdakwa adalah pelakunya. Jika ditemukan dua alat bukti yang tak terbantahkan bahwa seseorang benar melakukan suatu tindak pidana, maka baru dicari apakah kepada pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan itu atau tidak.
Karena itu, jika ketat memegang hukum pembuktian, maka persidangan perkara pidana harusnya tidak bertele-tele sampai berbulan-bulan bahkan tembus satu tahun atau lebih.Â
Tapi sistem persidangan pidana di Indonesia memang bertele-tele: pembacaaan dakwaan, eksepsi, jawaban, putusan sela, pembuktian, tuntutan, pledoi, replik, duplik, baru putusan hakim. Panjang seperti kereta api. Sistem ini benar yang nampaknya perlu diubah lebih disederhanakan, jelas dan tegas.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H