Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterangan Ahli Rawan Disalahgunakan

1 September 2016   14:02 Diperbarui: 1 September 2016   14:14 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jumlah alat bukti fisik/material tersebut minimal 2 (dua), misalnya: 10 saksi (bernilai satu alat bukti) ditambah 1 surat/dokumen (bernilai satu alat bukti); atau 100 saksi ditambah keterangan terdakwa. Dua alat bukti tersebut harus bersesuaian satu sama lain sehingga terbangun konstruksi hukum dari peristiwa pidana yang didakwakan.

Dalam tindak pidana korupsi sangat sering terjadi terdakwa dijatuhi pidana sekian tahun berdasarkan opini hakim, bukan berdasarkan bukti material yang bersifat pidana. Dalam kasus begini biasanya terjadi ketika niat jahat terdakwa tidak terbukti dan kerugian keuangan negara bersifat debatable (tidak meyakinkan).

Misalnya, yang terbukti adalah pelanggaran administrasi semata-mata. Namun oleh hakim ditafsirkan (beropini) bahwa pelanggaran administratif itu merupakan tindak pidana korupsi. Padahal, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Admnistrasi Pemerintahan, pelanggaran administratif murni tidak berkonsekuensi pidana (termasuk bukan tindak pidana korupsi).

Pembuktian yang abu-abu membuat opini akhirnya menjadi pegangan hakim, bukan bukti material. Opini-opini demikian, biasanya, akan tergambar jelas di surat tuntutan dan putusan hakim (terutama saat pembahasan unsur-unsur pasal yang didakwakan).

Opini membuat segalanya menjadi rumit. Hal yang seharusnya sangat sederhana menjadi kusut masai dan tak jelas standar patokannya, karena tak lebih hanya opini. Dan opini itu, kita tahu, bersifat subjektif.

Sejatinya, pembuktian suatu tindak pidana amat sederhana: ada minimal 2 (dua) alat bukti material bahwa terdakwa adalah pelakunya. Jika ditemukan dua alat bukti yang tak terbantahkan bahwa seseorang benar melakukan suatu tindak pidana, maka baru dicari apakah kepada pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan itu atau tidak.

Karena itu, jika ketat memegang hukum pembuktian, maka persidangan perkara pidana harusnya tidak bertele-tele sampai berbulan-bulan bahkan tembus satu tahun atau lebih. 

Tapi sistem persidangan pidana di Indonesia memang bertele-tele: pembacaaan dakwaan, eksepsi, jawaban, putusan sela, pembuktian, tuntutan, pledoi, replik, duplik, baru putusan hakim. Panjang seperti kereta api. Sistem ini benar yang nampaknya perlu diubah lebih disederhanakan, jelas dan tegas.(*)

SUTOMO PAGUCI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun