Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membakar Lahan, Kearifan Lokal yang Tak Lagi Arif

26 Oktober 2015   11:31 Diperbarui: 26 Oktober 2015   11:31 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Seorang ibu dan anak ikut membakar lahan di lereng gunung Meratus, Kalimantan Selatan. Foto: Iman-Satria, libregraphics.asia"][/caption]

Ini pengamatan saya. Membakar lahan sebelum ditanami komoditi pertanian memang merupakan kearifan lokal dibanyak daerah di Indonesia. Hal ini terutama dilakukan oleh para petani tradisional yang memiliki lahan tidak begitu luas, antara dua sampai empat hektare-lah. Hanya dengan cara ini lahan menjadi bagus untuk ditanami dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pembakaran membuat tanah lebih subur dalam waktu cepat. Gambut, akar kayu, daun-daun, ranting dan batang pohon yang dibakar menjadi bubuk penyubur lahan. Permukaan tanah juga jadi bersih sehingga memudahkan untuk ditanami berbagai komoditi pertanian atau perkebunan.

Setelah tebas-tebang, hasil tebasan dan tebangan dibiarkan mengering beberapa minggu. Biasanya, sebelum dibakar, pada sekeliling tepian lahan akan dibersihkan dari gambut, daun, akar, ranting yang menjorok. Ini supaya api tidak merambat ke hutan atau ladang tetangga. Setelah bersih, baru pembakaran dilakukan.

Lahan bisa saja tak dibakar. Di daerah-daerah yang beriklim dingin seperti di Curup, Bengkulu, di seputaran gunung Nilo dan Masurai, di Merangin, Jambi; lahan yang telah selesai tebas-tebang biasa saja dibiarkan melapuk tanpa dibakar. lahan sulit dibakar karena lembab.

Lahan yang tak dibakar demikian akan terlihat tidak rapi. Butuh waktu cukup lama, antara satu hingga dua tahun, hingga gambut, ranting dan batang pohon berukuran kecil berubah melapuk, membusuk sampai menjadi pupuk.

[caption caption="Lahan pertanian di Muara Siau, Merangin, Jambi. Foto: Sutomo Paguci."]

[/caption]

Waktu masih berladang di Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, kurun 1984-1990-an, kami biasa membuka lahan dari hutan tropis di Bukit Barisan. Hutan yang telah "dirintis" (ditandai sekeliling sebagai "milik" untuk pertama kali), sekitar 10 hektare, akan ditebas-tebang secara bertahap. Setelah itu lahan dibakar. Kadang-kadang tidak dibakar bila musim kemarau dan angin sedang kuat, takut api merambat ke hutan dan kebun tetangga.

Begitulah yang dilakukan hampir oleh semua petani/peladang di pelosok Sumatera, setidaknya yang saya amati. Hal yang sama nampaknya juga terjadi di hampir semua pelosok Indonesia. Yang oleh beberapa gubernur atau bupati kemudian dibuat semacam landasan hukum berupa peraturan gubernur atau peraturan bupati, yang membolehkan petani lokal membakar lahan.

Saya ingat betul. Pada waktu itu, kurun 1980-1990-an, hampir semua petani/peladang membakar lahan yang telah ditebas-tebang, namun tidak sampai menimbulkan kebakaran luas seperti saat ini. Yang terbakar hanya sebatas ladang saja. Karena sebelum dibakar telah diantisipasi terlebih dahulu.

[caption caption="Ladang kopi di Muara Siau, Merangin, Jambi. Sebelum ditanami dibakar terlebih dahulu. Foto: Sutomo Paguci"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun