Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jika Guru SD Bergelar Profesor

21 Februari 2013   03:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:58 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada baiknya jenjang karir guru SD s/d SMA sampai profesor. Setidaknya tiap SMA khususnya di kota ada guru begelar doktor untuk tiap mata pelajaran ilmu pasti. Kepala sekolah Harry Potter saja seorang profesor (Prof Dumbledore).

Memang, gelar akademik bukan jaminan seorang guru mampu mentransfer ilmunya dengan tepat dan dapat diterima dengan baik oleh murid-muridnya. Akan tetapi teknik komunikasi demikian bisa dilatih dan itu tidak terlalu sulit. Yang jelas kecakapan akademik sudah di tangan.

Kecakapan akademik adalah hal utama bagi seorang guru dan dosen. Namanya guru harus pintar, teori dan praktik. Jika guru tidak pintar namanya bukan guru. Problem ini bertumpuk-tumpuk dengan kelemahan kurikulum pendidikan formal kita.

Mengapa ini penting? Karena sistem pendidikan kita dari SD s/d SMA cenderung tidak terbangun sinergisitas yang komprehensif dalam hal mata pelajaran antar jenjang pendidikan. Sehingga sulit menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa menjadi orang kreatif sebagai kecakapan dasar untuk menjadi pencipta/penemu.

Pelajaran di sekolah lebih fokus pada penguasaan mata pelajaran tertentu dengan berpedoman pada kurikulum yang ada. Namun bagaimana integrasi antar mata pelajaran hubungannya dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tidak tergambar integrasinya.

Gagasan utama tulisan ini adalah, pendidikan dasar lebih ditekankan pada penanaman prinsip-prinsip dasar atau asas-asas dalam ilmu (matematika, bahasa inggris, dan ilmu alam). Cukup sampai di sini saja fokus pendidikan selama enam tahun di sekolah dasar.

Pada sekolah menengah pertama, fokus pelajaran lebih ke penerapan sederhana ilmu dasar yang diperoleh di sekolah dasar ke level praktik nyata di lapangan, yakni penelitian sederhana. Misalnya, soal ovulasi dalam biologi dipelajari teori dasar dan penerapannya dalam penelitian sederhana, langsung di lapangan. Begitupun komunikasi lisan dan tulisan dalam bahasa inggris dimulai dalam wujud nyata di lapangan, misalnya kewajiban berbahasa inggris dalam tiga hari penuh di sekolah tiap minggunya.

Di level sekolah menengah pertama, matematika tidak sekedar berhenti di utak-atik rumus hitung abstrak. Melainkan mulai digunakan untuk tujuan kongkrit di lapangan, misalnya, menghitung laba rugi sebuah usaha bisnis, menggunakan rumus untuk memecahkan problem sederhana perhitungan pembuatan rumah/gedung, dsb.

Pada level sekolah menengah pertama murid sudah terlatih menerapkan prinsip dasar sebuah ilmu yang cenderung abstrak ke aspek kongkrit penerapannya di lapangan, dalam kehidupan sehari-hari, dalam penelitian sederhana di lapangan (tidak sekedar di laboratorium).

Setelah menginjak level sekolah menengah atas, murid tidak lagi hanya menerapkan prinsip-prinsip dasar sebuah ilmu ke praktik di lapangan, namun sudah pada tahap lebih lanjut. Yakni, mulai berkreasi mencipta. Misalnya, dengan kemampuan ilmu matematika dan ilmu lain, diterapkan untuk mencipta sebuah robot. Atau, membuat rancangan program komputer untuk jurnal dan neraca sebuah toko swalayan.

Pekerjaan-pekerjaan rumah, baik harian maupun saat liburan, sifatnya adalah mencipta. Namun tidak sekedar mencipta seperti membuat kerajinan tangan, melainkan sebuah penciptaan hasil dari penerapan ilmu yang diajarkan di sekolah. Penciptaan itu tidak sekedar dalam bentuk fisik, namun juga diwujudkan dalam karya tulis sebagai semacam panduan dari karya fisik ciptaan tersebut.

Kembali ke gurunya sendiri. Seorang guru bahasa, misalnya, aktivitas hariannya ya menulis: menulis esai, cerpen, novel, buku, dsb. Tulisan-tulisan ini dapat pula dimuat dalam media massa cetak, blog, media sosial, dan semacamnya. Sehingga tiap karya mudah diakses khsususnya bagi murid-murid dari ujung jari. Inilah wujud nyata dari pendidikan: mengilhami dan memberi contoh kongkrit. Bukan sekedar cuap-cuap di depan kelas.

Sebenarnya bukan guru bahasa saja yang wajib menulis. Setiap guru dan dosen wajib menulis. Meneliti, mengajar, dan menulis adalah pekerjaan inti seorang guru dan dosen. Selama ini cenderung pekerjaan guru dan dosen dimaknai mengajar di muka kelas saja.

Guru sekolah dasar s/d sekolah menengah atas setidaknya meneliti problem sederhana di lingkungan sekolah dan lingkungan sosialnya. Hasil penelitisan demikian ditulis dan dimuat dalam jurnal, majalah dinding, blog, media sosial, media massa cetak, dsb. Bahan penelitian ini yang berguna untuk pengayaan mutu pengajaran di muka kelas.

Saat siswa mau menginjak ke perguruan tinggi para siswa sekolah lanjutan atas tadi sudah terbiasa melakukan penelitian dan mencipta berdasarkan aplikasi ilmu yang didapatnya di sekolah dari hasil membaca dan belajar di muka kelas. Tidak ada kegamangan lagi. Sehingga saat sudah duduk di bangku kuliah tinggal pendalaman dari kebiasaan meneliti dan membuat temuan (ciptaan).

Pendidikan doktoral khusus untuk membangun teori baru atau membongkar kelemahan teori-teori lama untuk kemudian diperbarui, yang diwujudkan dalam penciptaan yang kongkrit dari teori itu, sesuai bidang ilmu masing-masing khususnya ilmu terapan. Sementara pada ilmu murni lebih ke penciptaan teori baru dalam bentuk karya tulis.

Dengan demikian pendidikan diarahkan pada kekaryaan, pada hal kongkrit, disamping hal abstrak. Bukan sekedar cuap-cuap bertahun-tahun di depan kelas---apa tidak bosan? Bukan hanya omong kosong. Setiap keluaran sekolah formal adalah ahli-ahli astronomi, ahli fisika, ahli matematika, ahli ekonomi, dst yang bisa melakukan kerja teoritis dan praktik lapangan sekaligus untuk memecahkan problem riil masyarakatnya. Siap pakai luar dalam!

Kelambanan dalam sekolah formal saat ini sudah waktunya dibongkar habis. Tidak masuk dalam logika umum saat ini, yakni logika serba cepat sesuai abad komunikasi, seorang ahli astronomi harus sekolah sampai 21 tahun. Dengan teknik baru yang serba cepat dan tersistematis, orang bisa jadi ahli astronomi dalam waktu tak sampai 10 tahun.

Ilmu-ilmu pasti lebih diarahkan untuk melahirkan pencipta-pencipta yang mendobrak setiap problem masyarakat sesuai zamannnya. Jika tesis ini tersalurkan dengan baik, tidak perlu ada orang-orang kreatif yang keluar dari sekolah formal karena tak betah dengan kelambanan sekolah formal.

Seorang Bill Gates mencipta kreasi besar Microsoft justru setelah berhenti dari pendidikan formal; demikian juga dengan Mark Zuckerberg dengan masterpice media sosial Facebook; pun Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison juga menemukan maha karya dalam keilmuannya justru setelah berkutat dengan problem-problem riil di lingkungannya.

Uraian di atas bukan berarti menutup pintu bagi para ahli yang mampu mencapai taraf kecakapan teoritis dan praktis secara otodidak. Seorang ahli hasil kerja mandiri bisa saja diterima sebagai pengajar jika mampu mencapai taraf yang sama dengan para pengajar jebolan sekolah formal. Kepada mereka ini dapat disematkan gelar akademik kehormatan seperti doktor honoris causa.

(SP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun