Kembali ke gurunya sendiri. Seorang guru bahasa, misalnya, aktivitas hariannya ya menulis: menulis esai, cerpen, novel, buku, dsb. Tulisan-tulisan ini dapat pula dimuat dalam media massa cetak, blog, media sosial, dan semacamnya. Sehingga tiap karya mudah diakses khsususnya bagi murid-murid dari ujung jari. Inilah wujud nyata dari pendidikan: mengilhami dan memberi contoh kongkrit. Bukan sekedar cuap-cuap di depan kelas.
Sebenarnya bukan guru bahasa saja yang wajib menulis. Setiap guru dan dosen wajib menulis. Meneliti, mengajar, dan menulis adalah pekerjaan inti seorang guru dan dosen. Selama ini cenderung pekerjaan guru dan dosen dimaknai mengajar di muka kelas saja.
Guru sekolah dasar s/d sekolah menengah atas setidaknya meneliti problem sederhana di lingkungan sekolah dan lingkungan sosialnya. Hasil penelitisan demikian ditulis dan dimuat dalam jurnal, majalah dinding, blog, media sosial, media massa cetak, dsb. Bahan penelitian ini yang berguna untuk pengayaan mutu pengajaran di muka kelas.
Saat siswa mau menginjak ke perguruan tinggi para siswa sekolah lanjutan atas tadi sudah terbiasa melakukan penelitian dan mencipta berdasarkan aplikasi ilmu yang didapatnya di sekolah dari hasil membaca dan belajar di muka kelas. Tidak ada kegamangan lagi. Sehingga saat sudah duduk di bangku kuliah tinggal pendalaman dari kebiasaan meneliti dan membuat temuan (ciptaan).
Pendidikan doktoral khusus untuk membangun teori baru atau membongkar kelemahan teori-teori lama untuk kemudian diperbarui, yang diwujudkan dalam penciptaan yang kongkrit dari teori itu, sesuai bidang ilmu masing-masing khususnya ilmu terapan. Sementara pada ilmu murni lebih ke penciptaan teori baru dalam bentuk karya tulis.
Dengan demikian pendidikan diarahkan pada kekaryaan, pada hal kongkrit, disamping hal abstrak. Bukan sekedar cuap-cuap bertahun-tahun di depan kelas---apa tidak bosan? Bukan hanya omong kosong. Setiap keluaran sekolah formal adalah ahli-ahli astronomi, ahli fisika, ahli matematika, ahli ekonomi, dst yang bisa melakukan kerja teoritis dan praktik lapangan sekaligus untuk memecahkan problem riil masyarakatnya. Siap pakai luar dalam!
Kelambanan dalam sekolah formal saat ini sudah waktunya dibongkar habis. Tidak masuk dalam logika umum saat ini, yakni logika serba cepat sesuai abad komunikasi, seorang ahli astronomi harus sekolah sampai 21 tahun. Dengan teknik baru yang serba cepat dan tersistematis, orang bisa jadi ahli astronomi dalam waktu tak sampai 10 tahun.
Ilmu-ilmu pasti lebih diarahkan untuk melahirkan pencipta-pencipta yang mendobrak setiap problem masyarakat sesuai zamannnya. Jika tesis ini tersalurkan dengan baik, tidak perlu ada orang-orang kreatif yang keluar dari sekolah formal karena tak betah dengan kelambanan sekolah formal.
Seorang Bill Gates mencipta kreasi besar Microsoft justru setelah berhenti dari pendidikan formal; demikian juga dengan Mark Zuckerberg dengan masterpice media sosial Facebook; pun Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison juga menemukan maha karya dalam keilmuannya justru setelah berkutat dengan problem-problem riil di lingkungannya.
Uraian di atas bukan berarti menutup pintu bagi para ahli yang mampu mencapai taraf kecakapan teoritis dan praktis secara otodidak. Seorang ahli hasil kerja mandiri bisa saja diterima sebagai pengajar jika mampu mencapai taraf yang sama dengan para pengajar jebolan sekolah formal. Kepada mereka ini dapat disematkan gelar akademik kehormatan seperti doktor honoris causa.
(SP)