Pengantar
Artikel ini adalah suplemen dari artikel saya yang bertajuk "Kasus Tante Paku: Nulis di Media Sosial Ibarat Beranak", yang menuai pro dan kontra yang luar biasa, sebagaimana tercermin dari banyaknya komentar atas artikel tersebut.
Secara normatif, sebenarnya, permasalahan artikel Tante paku berjudul "[Fun Fict] Turunnya Kitab Suci Versi Superman", sudah selesai dengan dibredelnya tulisan itu oleh Admin Kompasiana dan diikuti permintaan maaf tertulis oleh Tante Paku atas polemik yang ditimbulkan karya fiksinya.
Namun, secara kebatinan teman-teman dan umat, sebagaimana saya tangkap, polemik "kasus" fiksi Tante Paku tersebut, belum selesai. Hal ini tercermin dari komentar-komentar teman-teman dan status Tante Paku di Facebook.
Karena itu, ada baiknya saya kembali mengangkatnya. Bukan ditujukan untuk memperkeruh suasana. Melainkan untuk "membongkar" kebatinan yang tersembunyi dan laten dari umat.
Hanya dengan cara ini saya nilai akan terbangun diskursus yang mencerahkan, dan moga-moga saling introspeksi baik nyata maupun diam-diam bagi semuanya, artinya, termasuk penulis. Jadi, bukan dengan "memelihara api dalam sekam."
Jaga kavling
Baiklah. Sebagian teman-teman "ngeri" dengan statemen saya dalam kolom komentar artikel pada paragraf pertama di atas. Saya katakan, jika ada yang menginjak kitab suci di depan saya, saya tak akan marah dan membunuh penginjak kitab suci itu. Saya hanya akan bertanya dan mengatakan bahwa hal itu tidak boleh atau saya melapor ke penegak hukum.
Berbeda halnya, mengutip Sdr Alek Laksana, jika orang menginjak kitab suci yang saya beli sendiri dengan uang sendiri. Saya akan marah dan meminta ganti rugi, selain melakukan langkah-langkah lain yang dipandang perlu.
Begitu pun andai saya---versi saat ini, tentu saja---masuk ke lobang waktu menuju era Perang Salib. Sedapat mungkin saya akan menghindari ikut perang atas nama agama, apapun alasannya. Saya tak akan pernah mau membunuh orang atas nama agama. Juga, sedapat mungkin saya hindari marah-marah karena membela agama.
Sama juga dengan ketika ada yang menghina-hina merek mobil yang saya pakai sebagai jelek tak bermutu dan mengata-ngatai dengan bahasa menjijikan terhadap produsen mobil. Saya tak akan marah atau memukul penghina itu.
Sama juga saat ada orang bertamu ke rumah tetangga dan berkata-kata kotor atau bahkan memukul tetangga saya. Saya tak akan ikut-ikutan marah-marah dan memukuli si tamu itu. Paling jauh saya ikut melerai andai ada perkelahian atau melapor ke penegak hukum.
Taroklah ada jeda saat keributan dengan tetangga tersebut, barangkali ada percakapan begini. Si tamu bertanya sengit pada saya, anggaplah saya ikut memukuli. "Saudara siapa?" tanya si tamu.
"Saya tetangga bapak ini!" jawab saya.
"Loh, apa urusan saudara sama saya, kok, saya ikut dipukuli?" tanya si tamu lagi.
"Karena saya tetangga bapak ini!" jawab saya ngotot sambil ancang-ancang akan memukulnya lagi.
Mengapa?
Karena semua itu bukan proporsi urusan saya secara langsung. Agama bukan milik saya, saya hanya pengikut. Tidak ada alasan rasional bagi saya untuk marah-marah atau sampai memukuli atau membunuh penghina agama.
Termasuk dalam konteks ini adalah, memberangus karya fiksi yang menggunakan istilah-istilah agama. Apapun argumennya, fiksi tidak bisa menjadi realita hanya karena ada mirip-mirip dengan kisah nyata. Kerangka berpikir realitas sulit untuk dijadikan dasar "mengadili" karya fiksi. Taroklah ada dugaan "niat terselubung" si penulis dalam karya fiksinya, hal ini tetap tak mengubah fakta bahwa ia karya fiksi. Karya fiksi tetaplah karya fiksi.
Begitupun terhadap penghinaan dan kata-kata kotor terhadap mobil dan produsen mobil saya. Bukan proporsi saya untuk merasa terhina, marah-marah, bertindak anarkis, dan memukul atau membunuh si penghina.
Itu urusan produsen mobil. Saya cuma pemakai doang. Saya bukan korban atau tak dirugikan atas penghinaan itu. Kalau berefek merugikan citra merek mobil, maka yang menuntut adalah yang punya merek. Saya baru dapat menuntut jika diberi surat kuasa oleh produsen mobil.
Hal yang sama pada ilustrasi perkelahian tamu dengan tetangga di atas. Saya tak akan ikut berkelahi untuk tetangga saya. Bukan urusan saya. Yang saya lakukan paling melerai atau membantu melapor ke penegak hukum.
Sebaliknya?
Jika diri saya pribadi atau istri dan anak-anak saya dilecehkan oleh orang lain maka saya akan marah dan mungkin sekali akan berteriak dengan sengit. Bahkan mungkin sekali sampai membunuh (atau dibunuh) karenanya, ya, namanya lepas kendali. Tentu, sedapat mungkin tidak anarkis dan menyerahkan ke proses kemasyarakatan dan hukum yang beradab.
Mengapa saya marah? Ya, karena itu proporsi dan urusan saya secara langsung. Tanggung jawab saya secara langsung.
Penutup
Demikianlah pendirian saya per hari ini. Beberapa narasi "sok bijak" lebih ke sugesti buat saya pribadi untuk belajar lebih baik lagi, jadi tidak sepenuhnya mencerminkan pribadi saya sesungguhnya. Pendirian di atas masih mungkin berubah menuju yang lebih baik jika saya menilai ada argumen yang lebih kuat.
Jika ada kata yang tak berkenan, baik sekarang maupun yang lalu-lalu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apapun perbedaan kita, kita adalah bersaudara. Kalau pun bukan saudara se-agama, ya saudara se-bangsa, atau setidaknya se-Kompasiana, dan lebih tinggi lagi saudara se-manusia.
Jabat tangan-maya yang erat dari penulis,
(SP)
Ps. Artikel ini adalah tulisan kedua saya (mungkin terakhir) atas polemik artikel fiksi Tante Paku di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H