Sama juga saat ada orang bertamu ke rumah tetangga dan berkata-kata kotor atau bahkan memukul tetangga saya. Saya tak akan ikut-ikutan marah-marah dan memukuli si tamu itu. Paling jauh saya ikut melerai andai ada perkelahian atau melapor ke penegak hukum.
Taroklah ada jeda saat keributan dengan tetangga tersebut, barangkali ada percakapan begini. Si tamu bertanya sengit pada saya, anggaplah saya ikut memukuli. "Saudara siapa?" tanya si tamu.
"Saya tetangga bapak ini!" jawab saya.
"Loh, apa urusan saudara sama saya, kok, saya ikut dipukuli?" tanya si tamu lagi.
"Karena saya tetangga bapak ini!" jawab saya ngotot sambil ancang-ancang akan memukulnya lagi.
Mengapa?
Karena semua itu bukan proporsi urusan saya secara langsung. Agama bukan milik saya, saya hanya pengikut. Tidak ada alasan rasional bagi saya untuk marah-marah atau sampai memukuli atau membunuh penghina agama.
Termasuk dalam konteks ini adalah, memberangus karya fiksi yang menggunakan istilah-istilah agama. Apapun argumennya, fiksi tidak bisa menjadi realita hanya karena ada mirip-mirip dengan kisah nyata. Kerangka berpikir realitas sulit untuk dijadikan dasar "mengadili" karya fiksi. Taroklah ada dugaan "niat terselubung" si penulis dalam karya fiksinya, hal ini tetap tak mengubah fakta bahwa ia karya fiksi. Karya fiksi tetaplah karya fiksi.
Begitupun terhadap penghinaan dan kata-kata kotor terhadap mobil dan produsen mobil saya. Bukan proporsi saya untuk merasa terhina, marah-marah, bertindak anarkis, dan memukul atau membunuh si penghina.
Itu urusan produsen mobil. Saya cuma pemakai doang. Saya bukan korban atau tak dirugikan atas penghinaan itu. Kalau berefek merugikan citra merek mobil, maka yang menuntut adalah yang punya merek. Saya baru dapat menuntut jika diberi surat kuasa oleh produsen mobil.
Hal yang sama pada ilustrasi perkelahian tamu dengan tetangga di atas. Saya tak akan ikut berkelahi untuk tetangga saya. Bukan urusan saya. Yang saya lakukan paling melerai atau membantu melapor ke penegak hukum.