Selama ini, penyitaan KPK cenderung hanya digantungkan pada niat baik KPK semata-mata. Jika barang yang disita tidak berkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan maka KPK akan mengembalikannya. Begitu saja.
Padahal, dalam proses hukum acara pidana Indonesia modern, sejak diberlakukannya KUHAP, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan di pengadilan, posisi tersangka/terdakwa dan polisi-jaksa-KPK pada dasarnya sejajar, sama-sama subjek dalam perkara. Hanya saja posisi yang berlainan.
Tidak bisa penyidik mentang-mentang. Mentang-mentang pegang kuasa lalu bisa seenaknya melakukan apapun atas pendapat sendiri, tanpa mengindahkan prosedur, tanpa mengindahkan hukum acara. Itulah beda premanisme dan penegakan hukum.
Kecenderungan kuat selama ini KPK salah mempersepsi hubungan sesama penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. KPK dan advokat harusnya setara, sama-sama subjek hukum, sama-sama penegak hukum, hanya dalam posisi yang berlainan. KPK mewakili negara dan masyarakat. Advokat mewakili kepentingan hukum kliennya.
Karena salah mempersepsi hubungan demikian maka KPK cenderung mengasingkan diri dari advokat. Tidak mau dikontrol, tidak mau diprotes, tidak mau diawasi, apakah hak-hak hukum seorang tersangka telah dilindungi. Bukti yang paling menyolok, KPK selalu ogah bertemu dengan advokat.
Ini jelas persepsi yang keliru dalam upaya mencegah kongkalingkong. Kongkalingkong bukan karena seorang penegak hukum tidak mau ditemui di kantornya, melainkan karena ada niat dan prosedur yang dilangkahi.
Kalau mau kongkalingkong, bisa di mana saja, di jalanan atau café pun bisa dilakukan. Tidak ada signifikansi langsung antara tidak mau bertemu dengan pengacara tersangka dengan kongkalingkong. Yang penting pertemuan dilakukan secara transparan dan disaksikan oleh pihak lain di kantor resmi.
Karena itu, bisa dipahami manakalah Buyung selaku advokat merasa geram karena dirinya ditolak bertemu Komisioner KPK. Logika sederhana saja, pada tersangka saja KPK bebas bertemu kapan pun, mengapa ogah menemui advokat di kantor? Dengan demikian KPK tak memandang advokat selaku sesama penegak hukum.
Advokat seolah dipersepsi tak lebih sebagai "penganggu". Padahal, penegakan hukum yang berhasil dan terhindar dari peradilan sesat, jika dilakukan secara terbuka pada kontrol pihak lain, termasuk pihak advokat, pers, LSM, dll. Kekuasaan tanpa kontrol, termasuk dalam penegakan hukum, sangat rawan menyimpang atau disalahgunakan.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H