MENCUATNYA kasus seniman-budayawan-kurator Komunitas Salihara Sitok Srengenge (48), yang menghamili mahasiswinya, RW (22), kembali memunculkan celah perdebatan seputar paham liberalisme yang katanya dianut Sitok.
Dipersepsikan bahwa liberalisme demikian jelek sebagaimana dicontohkan Sitok. Dalam kaitan ini, Sitok kebetulan aktivis di komunitas Utan Kayu dan kurator di Komunitas Salihara. Jadilah Utan Kayu dan Salihara sebagai sasaran tembak. Bahkan, entah bagaimana ceritanya, TEMPO pun menjadi sasaran tembak. Nampaknya Sitok menyadari kekacauan ini sehingga menyatakan mundur dari komunitas Salihara.
Sayangnya, tembakan kalangan yang kontra dengan apa yang disebutnya dengan "sepilis" (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme), tidak jelas ditujukan pada konteks apa dari liberalisme yang diserangnya itu. Apakah liberalisme sebagai ideologi an sich, atau liberalisme sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup, ataukah liberalisme sebagai pandangan politik, termasuk liberalisme sebagai paham ekonomi. Tidak jelas.
Jika yang dimaksud adalah peristiwa seorang guru atau instruktur menghamili muridnya dan peristiwa ini dipandang sah-sah saja oleh pelakunya, karena pelakunya berpandangan hidup serba bebas, serba boleh, maka yang tepat adalah liberalisme sebagai pandangan hidup per orangan.
Kejadian immoral seperti dilakukan Sitok mungkin saja terjadi pada manusia terlepas apa pandangan hidupnya. Tidak hanya penganut liberalisme sebagai pandangan hidup, kalangan agamawan juga bisa melakukan perbuatan mesum. Namanya nafsu seks melampaui segala pandangan hidup, ideologi, dan pandangan politik apapun.
Dalam pada itu, yang diperjuangkan oleh komunitas Utan Kayu, Salihara dan aktivis-aktivis berpaham liberalisme lainnya, sebenarnya, lebih ke liberalisme sebagai pandangan politik dan kebudayaan: perjuangan atau promosi kebebasan berpikir dan kesamaan hak-hak warga negara di hadapan hukum.
Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Utan Kayu, dan Salihara tak pernah memperjuangkan agar orang bebas melakukan tindakan immoral---bebas menghamili anak gadis orang tanpa tanggung jawab, bebas mabuk-mabukan semaunya, bebas konsumsi narkoba, bebas tawuran, bebas korupsi, dsb. Yang mereka perjuangkan justru kebebasan berpikir, kesetaraan hak-hak kewargaan di depan hukum dan pemerintahan, termasuk hak sosial, hak politik, dan hak ekonomi.
"Visi Komunitas Salihara adalah memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual. Kami perlu menegaskan visi ini, karena di Indonesia saat ini, yang sudah menjalankan demokrasi elektoral dalam dua dasawarsa terakhir, kebebasan berpikir dan berekspresi masih sering terancam dari atas (dari aparat Negara) maupun dari samping (dari sektor masyarakat sendiri, khususnya sejumlah kelompok yang mengatasnamakan agama dan suku)," demikian visi Komunitas Salihara (sumber di sini)
Sementara itu, "Islam Liberal" yang dimaksud JIL adalah "Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. 'Liberal' di sini bermakna dua: kebabasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai kebutuhan penafsirnya. Kami memilih salah satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yakni "liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk Jaringan Islam Liberal," tegas JIL dalam situsnya (sumber di sini).
Karena itu, dari visi dan misi komunitas Salihara, sebagai salah satu tempat bernaungnya Sitok, serta JIL tersebut, jelas sama sekali tidak memperjuangkan gaya hidup serba bebas, bebas-sebebas-bebasnya, gaya hidup kaum hippie, atau bebas menistakan simbol-simbol suci agama. Perjuangan mereka lebih ke politik terutama melalui budaya, kesenian, dan gerakan pemikiran sosial keagamaan.
Dalam konsep demokrasi konstitusional, tidak boleh ada orang yang melakukan interaksi sosial atau politik secara bebas lepas tanpa kontrol. Semua berpedoman pada konstusi dan hukum. Contoh nyatanya adalah Sitok sendiri. Ketika interaksinya bersinggungan dan merugikan pihak lain maka siap-siap berhadapan dengan hukum. Bukan sitok saja. Terhadap kaum fundies juga berlaku hukum begini.
Setiap manusia memang disertai kebebasan untuk bertindak. Namun bersamaan kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain. Ketika kebebasan berbenturan dengan hak orang lain maka saat itulah hukum dapat bertindak.
Dalam pandangan kaum fundies (fundamentalis) ataupun orang yang kurang paham, liberalisme sama sekali jelek dan tak ada manfaatnya. Mereka lupa, bahwa mereka bisa bebas berbicara dan menuliskan pikiran di berbagai media berkat konsep liberalisme dalam pengertian kebebasan berpikir dan berekspresi yang dijamin konstitusi negara.
Coba saja kaum fundies dibungkam, tak boleh membentuk organisasi, tak boleh menulis, dst, kemungkinan besar mereka akan keberatan. Sedangkan organisasinya diwacanakan akan dibubarkan saja mereka sudah teriak-teriak dan main ancam.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H