[8] Dalam doktrin Hukum Kesehatan (Health Law) atau pun Hukum Kedokteran (Medical Law) dikenal dua bentuk perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu perikatan hasil (resultaat verbintenis) dan perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis). Pada perikatan hasil, prestasi yang harus diberikan adalah hasil tertentu. Sedangkan pada perikatan ikhtiar, prestasi tersebut adalah ikhtiar atau upaya semaksimal mungkin. Pada perikatan hasil, jelas prestasinya dapat diukur berupa hasil tertentu, sementara perikatan ikhtiar maka prestasi yang diberikan adalah ikhtiar/upaya semaksimal mungkin, yang jelas tidak dapat diukur. Lebih lanjut silahkan periksa, Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Bandung, 2001), hal. 8, 29, 41; Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak) (Bandung, 1998), hal. 37, 63, 101; Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kedokteran Melindungi Pasien dan Dokter (Jakarta, 1996), hal. 5, 38.
[9] Lihat, Pasal 22 juncto Pasal 28 UUPK.
[10] Berita dalam Republika, "Medication Error, 'Pembunuh Pasien di Rumah Sakit", tgl 6 Maret 2002, hal. 14.
[11] Ibid.
[12] Situasi ini pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
[13] Tambahan komponen biaya tersebut dibebankan pada pasien selaku pemanfaat jasa pelayanan kesehatan. Di Indonesia, umumnya, memang menggunakan sistem pembiayaan langsung oleh pasien. Hal yang berbeda dengan di Inggris, misalnya. Di Inggris, umumnya orang telah memiliki asuransi kesehatan (health insurance) dimana pihak asuransi akan menilai operasi yang dilakukan dokter memang diperlukan atau tidak. Bila menurut penilaian pihak asuransi operasi tersebut tidak perlukan maka pihak asuransi atau sistem tiadak akan membayar operasi tersebut. Republika, tgl 23 Juli 2002, hal. 14.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H