Sangat dimungkinkan Ahmad Fathanah (AF) merupakan pemulung tetap fulus haram untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atau setidaknya untuk pribadi Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) waktu itu, sehingga perlu pembuktian di Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tipikor kelak soal dugaan ini.
AF sendiri bukanlah kader PKS tetapi sangat dekat dengan LHI. Menjadi pertanyaan menarik, mengapa orang dekat Presiden PKS, ke mana-mana wara-wiri bersama, namun bukan seorang kader PKS?
Pengurus PKS Sulsel dikhabarkan pernah jengkel karena diserobot pelayanannya pada LHI oleh AF sewaktu LHI berkunjung ke Makassar pada 2010 lalu, sebagaimana dikutip ceritanya dari republika.co. (5/2/2013) di sini. Demikian pula investigasi jurnalis Majalah Tempo (Edisi 25 Februari - 3 Maret 2013) menemukan foto LHI berdekatan dengan AF dalam pertemuan dengan Yudi Setiawan, tersangka korupsi proyek pengadaan alat peraga dan sarana penunjang pendidikan di Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, pada 2012.
Dari sampel fakta kedekatan LHI-AF tersebut dapat ditarik simpulan bahwa AF-LHI sudah kenal lama sebelum penangkapan KPK. Nampaknya ada kesengajaan LHI menggunakan tangan non-kader untuk pengumpul dana dari berbagai sumber. Dengan cara ini dinilai lebih "aman" dari kemungkinan kecurigaan aparat hukum atas berbagai sumber uang yang diperolehnya, andai suatu hari terjadi hal yang tak diinginkan (berkasus hukum).
Dikatakan "aman" karena dapat memutus mata rantai ke internal PKS. LHI dapat berkilah bahwa AF bukan kader PKS dan bekerja sendiri. Terbukti, petinggi PKS segera menyatakan AF bukan kader PKS, tepat beberapa saat setelah AF tertangkap yang dihubungkan dengan LHI dan diikuti penahanan LHI. Untung saja hukum bukan bekerja berdasarkan teori konspirasi, melainkan dengan standar pembuktian tertentu.
Hukum intinya adalah bukti. Dan KPK berhasil menemukan keterkaitan antara aktivitas AF sewaktu bugil bersama Maharani Suciyono di Hotel Le Meredien, dengan barang bukti berupa uang Rp.1 miliar yang diterimanya dari PT Indoguna Utama melalui petingginya Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, dengan seorang berinisial LHI sebagai anggota Komisi I DPR RI sekaligus Presiden PKS.
Dari rangkaian fakta ini terlihat bahwa LHI sudah cukup berhati-hati dan sistematis menjaring dana dari berbagai pihak dengan memanfaatkan tangan non-kader (secara formal) yang dibinanya dengan baik. Tertangkapnya AF adalah antiklimaks dari petualangan seorang LHI-AF. Sebelumnya, mereka berdua telah malang melintang di berbagai aktivitas bersama, sebagaimana juga terendus jurnalis Majalah Tempo.
Kehati-hatian LHI ini merupakan indikasi bahwa LHI sudah mengetahui pengumpulan dana dengan cara tersebut merupakan pelanggaran hukum. Untuk itu segala jejak harus rapi dan bersih jika suatu waktu terjadi hal terburuk, terendus aparat hukum.
Hanya saja masih teka-teki soal bagaimana rasionalisasi pribadi dari seorang LHI. Apakah LHI pribadi memiliki argumen pembenar bahwa apa yang dilakukannya tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran ajaran agama atau bahkan bukan korupsi? Bisa saja terjadi, sebagaimana juga tercermin dari suara-suara kader PKS yang mengapung di media massa, bahwa AF-LHI menerima uang dari orang swasta bukanlah korupsi. Disebut korupsi jika mengambil uang negara secara tidak sah.
Karena kemungkinan kesenjangan antara pendirian "fiqih" demikian dengan konsep hukum di Indonesia maka dicarilah cara "aman". Yakni, dengan memanfaatkan tangan non-kader untuk pengumpul dana buat partai.
Penulis tidak begitu percaya bahwa semua uang yang mungkin akan/telah terkumpul oleh AF dan akan/telah diserahkan pada LHI digunakan LHI semua untuk pribadinya. Sebagai seorang presiden partai sangat mungkin uang tersebut dikucurkan ke partai. Uraian ini sekedar analisa dari sebuah kemungkinan.
Petinggi partai seperti ketua umum/presiden dan bendahara biasanya memang dibebani partai untuk mengamankan sumber-sumber keuangan partai. Jamak diketahui di partai mana pun seorang ketua umum dan bendahara biasanya adalah orang swasta yang cakap mencari sumber pendanaan buat partai.
Dari alur cerita ini KPK sebaiknya tidak hanya berhenti pada penelusuran bukti uang yang diterima AF. Melainkan juga kemungkinan-kemungkinan ada bukti uang haram mengucur ke partai, dalam hal ini ke internal PKS melalui presidennya waktu itu, LHI.
Dalam kaitan ini KPK dapat menggunakan jasa penelusuran aliran dana dari PPATK. Jika terbukti ada dana haram hasil korupsi atau pencucian uang masuk ke PKS maka sudah sewajarnya partai tersebut mendapat sanksi hukum yang setimpal, jika perlu dibubarkan.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H