Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS Makar terhadap Islam

13 Maret 2013   03:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:53 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alih-alih melakukan introspeksi ke dalam, pertama-tama yang dilakukan kader puncak Partai Keadilan Sejahtera (PKS), manakala Presiden-nya diusut kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah menyalahkan pihak lain. Tuduhan konspirasi dan pihak asing yang ingin menghancurkan partai ini, pun dilontarkan.

KPK diserang habis-habisan baik oleh media corong partai ini maupun oleh para suporter yang mencoba masuk dalam dunia tulis-menulis di berbagai media termasuk media sosial seperti Kompasiana. Padahal, KPK hanya menjalankan fungsinya sebagaimana digariskan oleh undang-undang.

Tak terkecuali yang mendapat serangan "brutal" opini dari pihak mereka adalah, media yang memberitakan kasus LHI pertama kali dan konsisten mengungkapnya melalui investigasi, yakni Majalah Tempo. Di web PKS Piyungan, misalnya, Majalah Tempo diserang sebagai, intinya, tidak kridebel karena menjadikan "tukang tipu" (Yudi Setiawan) sebagai narasumber. Bukan menyerang argumen Yudi Setiawan.

Ada lagi seorang kompasianer (Agus Sutondo) yang diserang kharakternya dengan sebutan "mantan napi kompasianer", "maling teriak maling", dst. Teknik penulisan argumentum ed hominem ini sebenarnya sangat tidak membangun. Bukankah lebih baik jika menyerang argumen dengan argumen pula, bukan dengan menyerang pribadi orangnya sebagai napi dst?

Sekalipun mantan napi berhak untuk menulis apa saja yang dipikirkannya. Itulah ekspresi kebebasan menyatakan pikiran baik secara lisan maupun tertulis, yang dijamin oleh konstitusi. Hukum tidak mengenal kematian perdata (mort civil) seumur hidup.

Ketika seorang napi selesai menjalankan hukumannya maka hak dan kewajiban kewargaan dan politiknya kembali normal, kecuali beberapa hal. Mahkamah Konstitusi memutuskan mantan napi boleh mencalonkan diri dalam jabatan yang sifatnya dipilih (elected officials) dengan syarat-syarat yang ditentukan. Apalagi sekedar membuat pendapat dalam bentuk tulisan.

Nampaknya, siapa saja yang melancarkan kritik pada pada PKS akan dicap sebagai "pembenci PKS" oleh para penulis suporter PKS. Parahnya, pihak pengkritik dinilai sebagai "musuh". Di sini perpolitikan tak lebih dipersepsi sebagai permusuhan antara "kami" (PKS) dan pihak luar. Ke mana wajah di hadapkan, di luar kelompoknya, adalah musuh. Sebentuk mentalitas yang menganggap pihak luar adalah musuh (siege mentality).

Dari rentetan peristiwa berupa dibukanya tabir tersembunyi partai dakwah ini, melalui kasus LHI Cs, kemudian disusul oleh blunder-blunder pernyataan lisan dan tulisan oleh kader-kadernya, nampak ada sebuah sekenario maha kuat sedang mengintai PKS!

Seperti ada kekuatan besar yang hendak membuktikan bahwa cara-cara berpolitik ala PKS adalah tidak tepat. Tidak tepatnya itu terutama di sisi politisasi agama untuk tujuan-tujuan kekuasaan politik yang pragmatis. Politik yang dimaknai mereka sebagai jalan dakwah de facto tak terbukti dalam kenyataannya.

Menjadikan politik sebagai "jalan dakwah" saja sudah merupakan pendirian yang, disadari atau tidak, wujud sikap jumawah. Bahwa dirinya adalah terbaik dan utusan Allah. Pihak luar adalah sesat, sehingga perlu didakwahi.

Jangan-jangan Allah murka sama PKS dan diperlihatkanNya dalam wujud prahara yang menimpa PKS seperti saat ini. Bisa jadi karena kader-kader PKS berpolitik seraya merendahkan kesucian agama.

Bagaimana tidak, agama yang membawa pesan-pesan kemuliaan dan kesucian, terdegradasi jadi tak ubah sebuah ideologi politik, dan karenanya setara dengan ideologi politik apapun---Pancasila, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Semua gara-gara PKS membawa-bawa agama ke ranah politik praktis.

Karena itu, de facto, tidak ada gunanya membawa-bawa simbol agama secara formalistik ke dalam politik praktis dalam konteks ketatanegaraan Indonesia.

Coba saja, ketika kekuasaan politik sudah diperoleh, seperti contoh kader PKS Suswono yang berhasil menduduki Menteri Pertanian, dan Salim Segaf Al Jufri yang menduduki jabatan Menteri Sosial, apakah bisa kaidah-kaidah formalistik Islam dibawah ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Sosial? Tidak bisa! Apakah kelangkaan bawang merah dan bawang putih saat ini dapat diatasi oleh Suswono dengan teriak-teriak syariat agama?

Semua ada tempatnya. Agama berada di wilayah spiritual orang per orang dan kelompok sekeyakinan. Silahkan saja bawa agama ke ranah politik praktis, namun konsekuensinya agama akan jadi komoditi politik, nilanya setara ideologi politik apapun, hilanglah kemuliaan dan kesuciaan agama.

Sebaiknya diingat, sistem ketatanegaraan yang dibangun Indonesia bersifat kebangsaan yang lintas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Tidak memungkinkan sistem politik direcoki oleh dominasi SARA tertentu. Politik SARA ala kader PKS sangat tak tepat dari segala segi diterapkan dalam negara kebangsaan yang berbhinneka seperti Indonesia.

Berpolitik yang paling tepat untuk konteks Indonesia adalah tidak berorientasi SARA,  melainkan kebangsaan dengan bingkai NKRI, dan jika menggunakan kendaraan partai maka partai yang terbuka tanpa memandang SARA. Ideologi politik kebangsaan Indonesia dalam konteks ini bukan agama tertentu, melainkan Pancasila. Pancasila di sini jadi perekat lintas SARA.

Sebagai perbandingan, jargon "PPP Rumah Besar Umat Islam", seperti banyak di spanduk-spanduk politik milik kader PPP, tidak tepat secara proporsi politik kenegaraan Indonesia. Karena konteks politik Indonesia adalah kebangsaan Indonesia, bukan hanya umat Islam saja.

Kalau dikembangkan politik ala PPP tersebut akan rancu dan lucu. Masing-masing agama akan sibuk berpolitik memperjuangkan umatnya saja: Islam untuk umat Islam; Katolik untuk umat Katolik; Protestan untuk umat Protestan; Hindu untuk umat Hindu; Budha untuk umat Budha; Konghucu untuk umat Konghucu; dst. Sedangkan Indonesia adalah organisasi politik negara lintas SARA.

Karena itu, adalah sudah benar apa yang dirumuskan PKS dalam musyawarah kerja Nasional di Bali tahun 2008 lalu, dimana memutuskan PKS sebagai partai terbuka. Hanya saja dalam praktek di lapangan sehari-hari belum mengakar, masih gagap diikuti oleh kader partai ini, termasuk petingginya sendiri, yang masih bawa-bawa simbol agama, teriak-teriak "Allahu Akbar!" ketika Presiden partainya ditangkap KPK.

Menutup artikel ini, saya tiba-tiba teringat kicauan M Guntur Romli di Twitternya, yang saya kutip sebagai berikut: "Politisasi dan komersialisasi Islam adalah makar terhadap Islam, saat ini Allah sedang membongkar makar ini. Saya sangat yakin ini." Nah, jika konteksnya PKS, maka PKS sedang menuai badai akibat makar terhadap Islam.

(SP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun