Bagaimana tidak, agama yang membawa pesan-pesan kemuliaan dan kesucian, terdegradasi jadi tak ubah sebuah ideologi politik, dan karenanya setara dengan ideologi politik apapun---Pancasila, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Semua gara-gara PKS membawa-bawa agama ke ranah politik praktis.
Karena itu, de facto, tidak ada gunanya membawa-bawa simbol agama secara formalistik ke dalam politik praktis dalam konteks ketatanegaraan Indonesia.
Coba saja, ketika kekuasaan politik sudah diperoleh, seperti contoh kader PKS Suswono yang berhasil menduduki Menteri Pertanian, dan Salim Segaf Al Jufri yang menduduki jabatan Menteri Sosial, apakah bisa kaidah-kaidah formalistik Islam dibawah ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Sosial? Tidak bisa! Apakah kelangkaan bawang merah dan bawang putih saat ini dapat diatasi oleh Suswono dengan teriak-teriak syariat agama?
Semua ada tempatnya. Agama berada di wilayah spiritual orang per orang dan kelompok sekeyakinan. Silahkan saja bawa agama ke ranah politik praktis, namun konsekuensinya agama akan jadi komoditi politik, nilanya setara ideologi politik apapun, hilanglah kemuliaan dan kesuciaan agama.
Sebaiknya diingat, sistem ketatanegaraan yang dibangun Indonesia bersifat kebangsaan yang lintas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Tidak memungkinkan sistem politik direcoki oleh dominasi SARA tertentu. Politik SARA ala kader PKS sangat tak tepat dari segala segi diterapkan dalam negara kebangsaan yang berbhinneka seperti Indonesia.
Berpolitik yang paling tepat untuk konteks Indonesia adalah tidak berorientasi SARA, melainkan kebangsaan dengan bingkai NKRI, dan jika menggunakan kendaraan partai maka partai yang terbuka tanpa memandang SARA. Ideologi politik kebangsaan Indonesia dalam konteks ini bukan agama tertentu, melainkan Pancasila. Pancasila di sini jadi perekat lintas SARA.
Sebagai perbandingan, jargon "PPP Rumah Besar Umat Islam", seperti banyak di spanduk-spanduk politik milik kader PPP, tidak tepat secara proporsi politik kenegaraan Indonesia. Karena konteks politik Indonesia adalah kebangsaan Indonesia, bukan hanya umat Islam saja.
Kalau dikembangkan politik ala PPP tersebut akan rancu dan lucu. Masing-masing agama akan sibuk berpolitik memperjuangkan umatnya saja: Islam untuk umat Islam; Katolik untuk umat Katolik; Protestan untuk umat Protestan; Hindu untuk umat Hindu; Budha untuk umat Budha; Konghucu untuk umat Konghucu; dst. Sedangkan Indonesia adalah organisasi politik negara lintas SARA.
Karena itu, adalah sudah benar apa yang dirumuskan PKS dalam musyawarah kerja Nasional di Bali tahun 2008 lalu, dimana memutuskan PKS sebagai partai terbuka. Hanya saja dalam praktek di lapangan sehari-hari belum mengakar, masih gagap diikuti oleh kader partai ini, termasuk petingginya sendiri, yang masih bawa-bawa simbol agama, teriak-teriak "Allahu Akbar!" ketika Presiden partainya ditangkap KPK.
Menutup artikel ini, saya tiba-tiba teringat kicauan M Guntur Romli di Twitternya, yang saya kutip sebagai berikut: "Politisasi dan komersialisasi Islam adalah makar terhadap Islam, saat ini Allah sedang membongkar makar ini. Saya sangat yakin ini." Nah, jika konteksnya PKS, maka PKS sedang menuai badai akibat makar terhadap Islam.
(SP)