Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kasus dr. Ayu Cs: Malpraktik atau Kriminal Murni?

28 November 2013   12:11 Diperbarui: 4 April 2017   16:24 10836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalangan dokter cenderung tak mempermasalahkan proses hukum terhadap tindak pidana atau perbuatan kriminal murni yang dilakukan teman sejawatnya, misalnya melakukan aborsi tanpa indikasi medis, korupsi, eutanasia, dll. Sebaliknya, mereka bereaksi keras terhadap proses hukum malpraktik seperti dalam kasus dr. Ayu Cs. Seolah malpraktik tidak berdimensi pidana dan tak boleh disentuh hukum.

Secara yuridis dan teoritis, ada persamaan dan perbedaan malpraktik medis dan perbuatan kriminal murni. Tidak setiap malpraktik medis berdimensi pidana. Contoh, dokter yang memberikan obat tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan merupakan bentuk malpraktik medik karena tak sesuai dengan standar profesi medik, akan tetapi tidak (belum) berdimensi pidana.

Contoh lain, sebagai prebandingan, seorang advokat yang menemui hakim tanpa kehadiran pihak lawan, merupakan bentuk malpraktik. Akan tetapi tidak berdimensi pidana atau bukan merupakan perbuatan kriminal, kecuali terbukti sebaliknya---ada suap, pemerasan, dll.

Ancaman sanksi bagi perbuatan kriminal murni dalam profesi dokter adalah penjara dan denda. Sementara ancaman sanksi bagi malpraktik medis murni (tanpa unsur pidana) adalah tindakan disiplin atau sanksi kode etik.

Pada dokter yang melakukan aborsi tanpa indikasi medis dianggap melakukan perbuatan kriminal murni sekaligus malpraktik medis. Dikatakan melakukan kriminal murni karena perbuatan demikian telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam undang-undang dengan sanksi pidana bagi pelakunya. Bersamaan pelakunya melanggar kode etik.

Ruang lingkup malpraktik

Bisa terjadi, prestasi yang menjadi kewajiban tenaga kesehatan kepada seseorang penerima jasa pelayanan kesehatan tidak terlaksana sesuai yang diperjanjikan, sehingga tenaga kesehatan tersebut dikatakan telah ingkar janji (wanprestasi). Atau, tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam melaksanakan tugasnya. Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dalam suatu pelayanan kesehatan merupakan bentuk kesalahan atau kelalaian profesi.

Menurut doktrin hukum kesehatan (health law), padanan kata untuk istilah kesalahan atau kelalaian profesi adalah malpraktik (biasa disebut juga "malapraktik"), yang berasal dari istilah bahasa Inggris malpractice. Sayangnya, dalam undang-undang dan di antara para ahli (termasuk penyusun kamus), belum ada keseragaman dalam mendefinisikan istilah malpraktik tersebut.

Dari sekian definisi malpraktik, J. Guwandi (1991: 28) menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik bila (1) ada tindakan atau sikap dokter yang bertentangan dengan etik dan moral; bertentangan dengan hukum; bertentangan dengan standar profesi medik (SPM); dan kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang  berlaku umum; dan (2) adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa apa yang disebut malpraktik (malpractice) lebih mengacu kepada malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis). Karena itu, istilah malpraktik dikenal pula dengan istilah malpraktik-medik (medical malpractice).

Sementara itu, istilah 'kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan' sebagaimana dimaksud oleh Pasal 58 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UUK) sebenarnya mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak hanya bagi tenaga medik, tetapi semua tenaga kesehatan-yang di dalamnya tercakup juga tenaga medik.

Hermien Hadiati Koeswadji (1998: 149-150) menyimpulkan, bahwa kesalahan atau kelalaian profesi dapat terjadi bila tidak dipenuhinya syarat-syarat untuk melaksanakan profesi sesuai standar yang berlaku, yaitu sesuai dengan rata-rata praktik dokter yang memiliki kemampuan yang sama dalam kondisi yang sama.

Hermien condong mempadankan istilah kesalahan atau kelalaian profesi dengan istilah maltreatment daripada dengan malpractice. Kesimpulan demikian ia peroleh dengan menghubungkan istilah malpractice dengan Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) UU Kesehatan yang lama (UU No 23 Tahun 1992), dimana malpractice lebih ke arah subjek tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, sedangkan istilah maltreatment mengandung makna terlibatnya 2 (dua) pihak, yaitu disatu pihak subjek yang melaksankan treatment (tenaga medik), dan di lain pihak terdapat objek/subjek yang menjadi sasaran treatment (pasien).

Menurut Ahmad Djojosugito (Republika, 6/3/20012), malpraktik disebabkan oleh banyak faktor, antara lain keterampilan klinis para medis dan dokter, penguasaan terhadap pengetahuan terkini, kewaspadaan klinis, tingkat kepedulian terhadap mutu klinik, dan sistem pengelolaan berikut prosedur penanganan medis secara terpadu pada pasien. Tidak hanya dokter yang mengambil peran, tapi juga tenaga pelayanan kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan.

Dalam melaksanakan tugasnya, dokter dan dokter gigi wajib memenuhi apa yang disebut Kode Etik, Standar Profesi, Hak Pasien, Standar Pelayanan, dan Standar Prosedur Operasional. Dalam hubungan ini, Standar Profesi diatur oleh organisasi profesi, sedangkan Standar Pelayanan dan Standar Prosedur Operasional diatur oleh Menteri Kesehatan. Demikian ditegaskan Pasal 24 UUK dan Pasal 44 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU PK).

Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. SementaraYang dimaksud hak pasien antara lain ialah hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion), dll.

Berdasarkan uraian di atas, paramter untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian (malpraktik) dalam prespektif profesi adalah Standar Profesi. Dalam cakupan yang lebih luas, parameter malpraktik tenaga kesehatan adalah Kode Etik, Standar Profesi, Standar Pelayanan, Standar Prosedur Operasional, dan undang-undang terkait.

Leenen dan van der Mijn, dua pakar hukum kesehatan dari Belanda, memberikan pendapat mengenai Standar Profesi Medik (Wila Candrawila, 1991: 52). Menurut Leenen:

"Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut: bertindak teliti sesuai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dari kategori keahlian medik yang sama dalam keadaan yang sama dengan cara yang ada dalam kesimbangan yang pantas untuk mencapai tujuan dari tindakan yang kongkrit."

van der Mijn berpendapat, bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang kepada tiga ukuran umum, yaitu: 1. kewenangan, 2. kemampuan rata-rata, dan 3. ketelitian yang umum.

Kewenangan tenaga kesehatan adalah kewenangan hukum (rechtsbevogheid) yang dipunyai seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan profesinya. Kewenangan, menjadikan tenaga kesehatan berhak untuk bekerja sesuai bidangnya, karenanya disebut kewenangan profesional. Di Indonesia, kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan didapat dalam bentuk surat izin praktik (SIP).

Untuk mengukur kemampuan rata-rata sangat sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi penentuan ini-tempat tugas, masa tugas, dan sebagainya. Kalau menurut pendapat Leenen di atas, patokan kemampuan rata-rata adalah keahlian medik yang sama. Untuk mengukur keahlian medik yang sama itu pun sulit. Wila Chandrawila menyarankan untuk melihatnya kasuistis.

Ukuran ketelitian yang dimaksud oleh van der Mijn adalah ketelitian yang dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaan yang sama. Ketelitian umum inilah yang akan mengukur, apakah seseorang tenaga kesehatan telah bekerja secara saksama atau tidak.

Aspek pidana dalam suatu malpraktik medik dapat ditemui ketentuannya dalam KUH Pidana, UUK, dan UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU PK).

Contoh pasal-pasal KUH Pidana yang menentukan macam-macam malpraktik medik yang diancam pidana bagi pelakunya: Menipu pasien (Pasal 378); Tindakan pelanggaran kesopanan (Pasal 290, 294, 285, 286); pengguguran kandungan tanpa indikasi medik (Pasal 299, 348, 349, dan Pasal 345); sengaja membiarkan pasien tak tertolong (Pasal 322); membocorkan rahasia medik (Pasal 322); lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (Pasal 359,   360, 361); memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386); membuat surat keterangan palsu (Pasal 263, 267); dan  melakukan eutanasia (Pasal 344).

Contoh pasal-pasal pidana dalam UU PK: praktik tanpa surat tanda registrasi (Pasal 75 Ayat 1); praktik tanpa surat izin praktik (Pasal 76); praktik menggunakan gelar yang tak tepat atau palsu (Pasal 77).

Selanjutnya, melanggar kewajiban dalam praktik (Pasal 51 jo 79 UU PK), meliputi: tidak memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; melakukan tindakan medis di luar kemampuan dan tidak merujuk pada dokter yang lebih ahli dan lebih mampu; membuka rahasia pasien; tidak melakukan pertolongan darurat pada pasien yang membutuhkannya; dan tidak menambah ilmu pengetahuan dan tak mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

Kasus dr. Ayu Cs

Sekarang, mari kita cermati kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian. Ketiganya divonis hakim 10 bulan penjara karena kealpaannya mengakibatkan meninggalnya orang lain dalam operasi caesar Julia Fransiska Makatey, videPasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Di mana letak malpraktiknya jika dihubungkan dengan uraian di atas?

Selanjutnya, kita cermati putusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), yang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai prosedur, apakah telah sesuai dengan fakta yang ada dihubungkan dengan aturan kode etik dan perundang-undangan? Di sini bahasannya bukan hanya soal emboli udara, melainkan keseluruhan dari operasi itu mulai sebelum, saat dan sesudah operasi.

Berdasarkan dokumen Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Manado dan Putusan Mahkamah Agung RI No 365 K/Pid/2012 tanggal 22 September 2012, setidaknya ada tiga perbuatan pidana yang dilakukan dan didakwakan kepada dr. Ayu cs, yakni:


  • Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain, vide Pasal 359 KUHP. Kealpaan/kelalaian dalam operasi terhadap korban Siska Makatey tersebut meliputi: 1. tidak menyampaikan penjelasan kepada pasien/keluarganya tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk dari tindakan medik (operasi) yang dilakukan; dan 2. tidak melakukan pemeriksaan penunjang terhadap tindakan medik (operasi) beresiko tinggi pada korban Siska Makatey, yakni tidak melakukan pemeriksaan jantung, foto rontgen, dan pemeriksaan darah;

  • Melakukan operasi tanpa Surat Izin Praktik (SIP), vide Pasal 76 UU PK. Dimana ketiga terdakwa hanya memiliki Sertifikat Kompetensi. Di samping itu, ketiganya tidak mendapat pelimpahan/persetujuan operasi dari dokter spesialis yang memiliki SIP/kewenangan memberikan persetujuan;

  • Memalsukan tanda tangan korban Siska Makatey dalam Surat Persetujuan Tindakan Khusus, Persetujuan Pembedahan dan Anestesi, vide Pasal 263 KUHP. Tanda tangan korban berbeda dengan di KTP dan Kartu Askes. Hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik tanggal 9 Juni 2010 No LAB: 509/DTF/2011. Dalam alat bukti ini disebutkan adanya "Spurious Signature" atau Tandatangan Karangan.

Namun, berhubung surat dakwaan tersebut disusun secara campuran alternatif subsidiaritas, maka jaksa dan hakim memiliki kebebasan untuk memilih dakwaan yang dianggapnya paling terbukti. Dalam hal ini jaksa menilai terbukti Dakwaan Kesatu Primair Pasal 359 KUHP. Kesimpulan jaksa penuntut umum demikian ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado. Baru disetujui ketika kasusnya naik kasasi di Mahkamah Agung RI oleh majelis hakim yang diketui oleh Dr. Artidjo Alkostar.

Karena itu, tidak dipidananya para terdakwa atas perbuatan melakukan operasi tanpa SIP dan pemalsuan tandatangan, bukan berarti perbuatannya tidak terbukti secara materil. Akan tetapi lebih karena faktor bentuk susunan dakwaan yang dibuat alternatif. Idealnya, perbuatan para terdakwa dalam perkara ini didakwa dengan bentuk dakwaan kumulatif, sehingga setiap perbuatan dibuktikan satu-persatu secara kumulatif.

Bukti-bukti tidak adanya SIP ketiga terdakwa tak terbantahkan lagi. Begitupun bukti pemalsuan tandatangan, cukup meyakinkan, karena didasarkan pada akta otentik hasil labor yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Dua jenis perbuatan ini jelas dan gamblang merupakan indikasi kuat malpraktik dan perbuatan kriminal sekaligus.

Aneh sekali, pemeriksaan MKEK hanya fokus pada sebab kematian pasien Siska Makatey, yakni: masuknya emboli udara ke bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung yang berujung kematian Siska. Emboli udara mana disebutkan MKEK sifatnya unpredictable.

MKEK tidak memeriksa keseluruhan perbuatan dr. Ayu Cs, seperti diuraian di atas, termasuk pembiaran yang dilakukan dr. Ayu Cs dan pihak rumah sakit terhadap korban Siska Makatey, yang telah masuk sejak pagi hari sampai malam baru dioperasi. Sedangkan saat pertama masuk rumah sakit, rujukan dari puskemesmas, saja, kondisi Siska sudah sangat lemah. Hal mana dibuktikan oleh rekam medik, yang dibacakan saksi ahli di persidangan.

MKEK juga tak persoalkan dr. Ayu Cs operasi Siska sedangkan dr. Ayu Cs ini diketahui belum memiliki SIP. Pertanyannya, apakah memang dibenarkan secara prosedur da etik dalam praktik kedokteran di Indonesia, dokter tanpa SIP melakukan tindakan medik beresiko tinggi?

Kemudian, mengapa MKEK tidak persoalkan indikasi kuat pemalsuan tandatangan korban Siska Makatey, oleh dokter, sebagaimana bukti Laboratorium Forensik Makasar? Sehingga muncul pertanyaan lanjutan: apakah memang dibolehkan secara prosedur dan etik kedokteran, pemalsuan tandatangan pasien oleh tenaga kesehatan dalam lembar persetujuan tindakan medik?

Karena itu, kuat dugaan sidang MKEK merupakan upaya menutupi kesalahan kolega, sebagai wujud esprit de corp. Terutama karena hanya melokalisir pada sebab kematian, bukan pada keseluruhan etika dan standar prosedur yang dilakukan dokter terhadap pasien (Siska Makatey) sebelum, saat dan sesudah operasi.

Padahal, lingkup kewenangan dan tugas MKEK adalah: menyelesaikan setiap permasalahan tentang bioetika dan etika kedokteran dan masalah konflik etikolegal, khususnya yang berpotensi menjadi sengket medik, dengan cara meneliti, memeriksa, menyidangkan dan memutus perkaranya . Bukan fokus memeriksa penyebab kematian pasien dan siapa yang bertanggung jawab.

Penutup

Malpraktik dapat sekaligus berdimensi pidana jika terpenuhi unsur pidana dalam pasal undang-undang. Di Indonesia, malpraktik medis yang dibawa ke proses hukum pidana terbilang tidak umum atau sangat sedikit sehingga dikatakan mengikuti fenomena gunung es, artinya, yang tak terungkap ke permukaan diyakini jauh lebih banyak. Yang umum dikasuskan adalah perbuatan dokter yang tergolong kriminal murni, seperti aborsi, korupsi, dll.

Di sinilah pentingnya dokter dan masyarakat umum memahami apa saja ruang lingkup perbuatan kriminal dan malpraktik yang mungkin dilakukan oleh dokter dalam menjalankan tugas profesinya. Pengetahuan tersebut penting untuk mengantisipasi agar hal demikian tak terjadi.

Kalaupun perbuatan pidana atau malpraktik sudah terlanjur terjadi, pengetahuan tersebut penting untuk pegangan dalam mengambil opsi sengketa hukum di jalur pidana, perdata, sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan kode etik di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

(Sutomo Paguci)

Artikel terkait:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun