Pihak pemohon pun jangan sungkan untuk mengadvokasi hakim bersangkutan dengan memberikan copy PP tersebut di atas. Pasalnya, merupakan perbuatan melawan hukum jika hakim tetap juga meminta surat izin atasan kepada pegawai BUMN yang hendak bercerai.
Pada perusahaan-perusahaan BUMN lain acap ditemui aturan internalnya, berupa peraturan perusahaan (PP) atau peraturan kerja bersama (PKB), belum diperbaharui sehingga sesuai dengan aturan terbaru yaitu PP No 45 Tahun 2005 tersebut di atas.Â
Contohnya, sengketa antara pilot senior Garuda Indonesia Rendy Sasmita Adji Wibowo melawan perusahaannya karena ybs bercerai tanpa seizin atasan sehingga diberhentikan sebagai pegawai. Atas pemecatan itu, Rendy mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dengan alasan dan dasar hukum sebagaimana tersebut dalam PP No 45 Tahun 2005 tersebut, dan oleh majelis hakim permohonan Rendy dikabulkan.
Sebagai advokat penulis pernah mengajukan argumen serupa kepada majelis hakim dan oleh majelis hakim akhirnya diputuskan pemohon materiel (karyawan BUMN) supaya meminta surat kepada atasan yang pada intinya menyatakan perusahaan BUMN ybs tidak terikat lagi dengan aturan kepegawaian bagi PNS. Surat mana sebagai pegangan bagi majelis hakim.Â
Rupanya, sebagian hakim belum update pengetahuan tentang aturan terbaru. Nampak kekhawatiran hakim melanggar prosedur sehingga berkonsekuensi ke karir.Â
Bila dibaca syarat-syarat perceraian sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto PP No 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sama sekali tidak mencantumkan keharusan izin atasan bagi PNS dan pegawai BUMN yang hendak bercerai. Kedua aturan ini memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum, tidak terkecuali PNS dan pegawai BUMN.Â
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa, PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 bersifat kontroversial, karena mengatur materi muatan izin atasan dalam perkawinan dan perceraian bagi PNS dan pegawai BUMN yang nota bene tidak diatur dalam UU.Â
Harusnya, PP sifatnya melaksanakan UU dan tidak membuat norma baru. Mengubah atau menambah aturan normatif dalam suatu perundangan harus dengan perundangan yang selevel: UU dengan UU, PP dengan PP, dst.(*)
SUTOMO PAGUCI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H