[caption id="attachment_207306" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi/Shutterstock.com"][/caption] TIDAK SELAMANYA perkawinan berjalan mulus hingga kakek-nenek atau meninggal dunia. Terkadang terjadi hal-hal yang membuat pasangan suami-istri memutuskan untuk bercerai. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian pun harus mengikuti tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai BUMN antara lain terlebih dahulu mesti mendapat surat izin dari atasan. Izin atasan tersebut baru keluar setelah pegawai mengajukan permohonan tertulis kepada atasan dengan format dokumen permohonan yang ditentukan. Lalu atasan memeriksa alasan permohonan tersebut apakah cukup dasar untuk dikabulkan atau ditolak.
Pemeriksaan oleh atasan demikian akan dibuat semacam berita acara. Barulah setelah itu keluar surat berupa izin perceraian atau penolakan izin perceraian kepada pegawai ybs.
Surat izin perceraian tersebut sebaiknya dimasukan dalam posita atau alasan permohonan/gugatan perceraian, ini jika izin dimaksud sudah diperoleh sebelum permohonan didaftarkan ke Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri (bagi non-Islam). Hakim dapat memberi dispensasi sekian bulan untuk mengurus izin atasan jika waktu permohonan/gugatan didaftarkan belum disertakan di dalamnya.
Sedangkan jika tergugat/termohon yang berkedudukan sebagai PNS maka cukup menyampaikan surat pemberitahuan kepada atasan telah digugat cerai dengan lampiran gugatan/permohonan yang ia terima.
Perihal surat izin atasan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan PP No 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS.
Dalam kedua PP ini pegawai BUMN disamakan dengan PNS dan karenanya mesti mendapatkan izin atasan terlebih dahulu jika hendak mengajukan permohonan/gugatan perceraian.
Belakangan, tepatnya sejak tahun 2005, yakni dengan PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negera, pegawai BUMN tidak lagi tunduk pada aturan bagi PNS, termasuk soal izin perceraian.
Pasal 95 PP No 45 Tahun 2005 menyatakan, "(1)Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. (2) Bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi yang berlaku bagi pegawai negeri sipil."
Ambil contoh pada Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) sebagai salah satu BUMN di Indonesia. Pasal 93 ayat (2) PP No 41 Tahun 2008 tentang Perum Jamkrindo menyatakan,“Bagi karyawan Perusahaan tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.” Dengan demikian Perum Jamkrindo telah memperbaharui aturan internalnya terkait kepegawaian, termasuk tidak diperlukannya lagi izin atasan bagi pegawainya yang hendak kawin dan bercerai.
Dalam praktik pengadilan acap ditemui hakim tetap juga meminta surat izin atasan bagi pegawai BUMN yang hendak bercerai. Karena itu, para hakim sebaiknya memperbaharui pengetahuan terkait hal ini.