Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lagi, Skandal Pelemahan KPK Akhirnya Terungkap!

5 Agustus 2012   09:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADANG -- Setelah menulis delapan artikel terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator Ujian SIM di Korlantas Mabes Polri tahun 2011 senilai Rp.196,87 miliar, tibalah saatnya penulis membuat kesimpulan pahit ini. Bahwa kewenangan super body KPK telah ditelikung, telah dipecundangi, atau telah "dikudeta" secara terselubung. Inilah skandal besar penegakan hukum abad ini!

Modusnya melalui Memorandum of Understanding (MoU) KPK-Polri-Kejaksaan. MoU itu sendiri selengkapnya berjudul “Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, nomor: B/23/III/2012, dan nomor: SP3-39/01/03/2012 Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” tertanggal 29 Maret 2012.

Adapaun poin selengkapnya dari MoU tersebut berbunyi sebagai berikut:

1. Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.

2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali.

3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri.

4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.

(Sumber dikutip dari detik.com)

Nah, sebelum MoU di atas di"telanjangi" satu per satu poin-poinnya, supaya ketahuan letak skandal itu, baiknya sama-sama kita simak terlebih dahulu ketentuan Pasal 50 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), berikut ini:

(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikoordinasikan secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan.

Skandal itu

Setelah redaksional ketentuan Pasal 50 UU KPK tersebut dibaca pelan-pelan, sekarang "penelanjangan" terhadap point-point MoU dimulai!

1. Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK

Klausula di atas jelas-jelas "mengebiri" kewenangan KPK. Dimana KPK telah tersandera instansi lain (kejaksaan dan kepolisian) dalam penanganan kasus korupsi. Suatu hal yang seharusnya terlarang karena KPK merupakan lembaga pemberantasan korupsi super body. Sebab, Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK telah mengatur substansi klausula di atas, dengan memberikan poin kendali di tangan KPK. Gara-gara klausula tersebut, kini KPK harus melepaskan kewenangan kepada "instansi yang lebih dahulu melakukan penyidikan". Dengan demikian, poin kendali itu telah dilepaskan.

2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali.

Seklebatan tidak ada masalah dalam redaksional klausula ke-2 dari MoU di atas. Namun, jika dihubungkan dengan poin kendali KPK dalam Pasal 50 UU KPK, jelas dan tandas sekarang poin kendali itu telah disamarkan. Sekarang, KPK tidak lagi dalam posisi sebagai pengendali penuh melainkan "sederajat" dengan Polri dan Kejaksaan.

MoU pada dasarnya adalah perikatan dalam bentuk perjanjian yang mengansumsikan kedudukan para pihak sederajat. Padahal, dalam pemberantasan korupsi, kedudukan KPK lebih "tinggi". Pasalnya, UU KPK memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan supervisi pada Polri dan Kejaksaan dibidang pemberantasan korupsi. Bahkan, Pasal 8 ayat (2) UU KPK memberi kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Jadi, KPK itu "lebih tinggi" kedudukannya dibandingkan kepolisian dan kejaksaan di bidang pemberantasan korupsi.

3. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

Sama dengan poin ke-2 MoU di atas, harusnya tak perlu ada klausula ini. Pasalnya, redaksi klausula MoU demikian telah diatur dalam UU KPK. Setiap institusi negara, termasuk kepolisian dan kejaksaan, wajib tunduk pada UU KPK tersebut. Nah, gara-gara klausula MoU ini maka kedudukan KPK yang "lebih tinggi" sebagai supervisi pemberantasan korupsi di Indonesia, sekarang terdegradasi menjadi "sederajat" dengan kepolisian dan kejaksaan. Letak super body dari KPK otomatis telah terdistorsi dengan MoU demikian.

4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.

Sekali lagi kausula MoU ke-4 tersebut telah melakukan repetisi terhadap ketentuan Pasal 8 UU KPK. Hal yang seharusnya tidak perlu. Pertama, karena melepaskan poin kendali KPK kepada kesetaraan dengan kepolisian dan kejaksaan. Kedua, kata "dapat" dalam redaksional klausula ke-4 MoU tersebut telah "menyandera" KPK. Kata "dapat" itu maknanya boleh dilakukan dan boleh juga tidak alias tidak wajib.

Memang, di dalam Pasal 8 UU KPK disebutkan, KPK berwenang mengambil alih penyidikan kasus korupsi di kepolisian dan kejaksaan, namun poin kendali ada di tangan KPK atau bukan diletakkan secara setara di tangan kepolisian dan kejaksaan seperti ini. Apalagi, pengambilalihan penyidikan tersebut harus melalui serangkaian seremoni "dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara". Lah, kalau kejaksaan menolak atau memboikot, bagaimana? Persis seperti saat ini dalam kasus Simulator SIM! Hadeh.

Penting

Harusnya, KPK fokus saja melaksanakan kewenangan sesuai UU KPK dan tidak mengikatkan "tali" di leher dengan institusi yang korupsinya akan diberantas. Ini penting. Karena khittah kelahiran KPK adalah untuk memberantas korupsi penegak hukum di dunia peradilan dan korupsi skala besar.

KPK sebaiknya segera menyadari blunder ini dan menarik diri dari MoU tersebut, kapan perlu secara sepihak, karena MoU tersebut toh batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang. Batal demi hukum (null and void) maknanya MoU tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah lahir ke muka bumi.

Bersamaan dengan itu, institusi negara lain, seperti Komisi III DPR RI sebaiknya memberikan dukungan politik habis-habisan kepada KPK untuk menjalankan secara penuh kewenangan super body-nya. Para politisi tak perlu ragu-ragu sedetik pun, karena inilah langkah merayu rakyat menuju agenda politis 2014. Bukan begitu, kisanak? Sedangkan masyarakat sipil sudah pasti cenderung berada di pihak pro pemberantasan korupsi.

Penulis juga menyarankan KPK bertindak lebih jauh dan tegas lagi. Kongkritnya, Sutarman Cs (sekitar 18 orang) sebaiknya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus menghalang-halangi penyidikan dalam penyitaan barang bukti di Markas Korlantas Mabes Polri, Senin-Selasa (30-31/7/2012) lalu. Selanjutnya, biar rakyat yang mengawal KPK. Seperti kata taktikus perang Sun Tzu (544-496 SM), dahului sebelum kedahuluan!

Selebihnya, bertindaklah layaknya super body!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun