Mantan Ketua Departemen Dalam Negeri DPP Partai Demokrat Drs H Djufri tercatat pernah menunjuk Penasehat Hukum dari internal Partai Demokrat sewaktu diperiksa sebagai tersangka di Kejati Sumbar.
Berbeda dengan Drs H Djufri tersebut, mantan Wakil Sekretaris Jenderl I DPP Partai Demokrat Angelina Sondakh justru menunjuk Penasehat Hukum dari luar Partai Demokrat, yakni Advokat Teuku Nasrullah, yang selama ini dikenal pula sebagai Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia. Nasrullah ditunjuk Angie hanya beberapa hari sebelum ia diperiksa pertama kali sebagai tersangka di KPK, Jum'at (27/4).
Penunjukan advokat dari luar Partai Demokrat tersebut tak pelak menimbulkan spekulasi, antara lain dapat dibaca dalam tulisan Valentino di Kompasiana ini. Anggie dinilai menjaga jarak dengan partainya karena ia merasa dikorbankan. Dan untuk mengantisipasi dari serangan politik, Anggie menunjuk pengacara dari luar partai.
Ada pula spekulasi lain, justru Partai Demokrat yang pasif menjaga jarak untuk melindungi kepentingan partai. Setidaknya demikian yang ditegaskan Deny Kailimang, bahwa Partai Demokrat tidak akan mengadvokasi kasus Anggie jika tidak diminta.
Terlepas dari motif politik dibalik langkah Angie tersebut, penunjukan advokat dari luar partai sudah tepat. Hal ini terutama demi menjaga independensi seorang advokat dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku penegak hukum dari campur tangan dan intervensi partai.
Loyalitas advokat hanya kepada hukum dan kepentingan hukum kliennya. Tidak diluar itu, termasuk tidak kepada kepentingan politik siapapun diluar kepentingan hukum kliennya.
Dari sisi advokat, ada masalah etis jika mendampingi kolega separtai. Perbenturan kepentingan potensial terjadi. Contoh, bagaimana jika terjadi benturan kepentingan partai berlawanan dengan kepentingan hukum kliennya, ke mana loyalitas advokat diarahkan? Hal ini bukan mustahil. Loyalitas advokat bersangkutan mungkin saja diarahkan ke partai dengan alasan kepentingan yang lebih luas. Ini jelas melanggar etika.
Karena itu, Pasal 4 huruf J Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan, "Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan."
Dalam konfigurasi pertarungan hukum yang terkadang liar tak terkendali, terutama di pengadilan, perbenturan kepentingan hukum partai versus klien mungkin sekali terjadi. Apalagi dalam kasus wisma atlet. Dimana sudah luas diberitakan bahwa kasus ini diduga kuat juga melibatkan banyak petinggi partai diluar Nazaruddin dan Angelina Sondakh.
Sedangkan dari sisi publik yang memantau kasus bersangkutan, mungkin sekali ada padangan, benar salah akan dibelanya. "Mereka 'kan separtai", demikian lebih kurang. Advokat telah dipersepsikan tidak independen.
Sebagai perbandingan yang sama, mantan anggota Banggar DPR RI dan Fungsionaris Partai PAN Wa Ode Nurhayati menunjuk kakaknya, Advokat Wa Ode Nur Zaenab, sebagai penasehat hukum dalam advokasi kasusnya di KPK. Persepsi publik bisa saja bias menilai bahwa rekan Advokat Wa Ode Nur Zaenab tersebut tidak independen karena mengadvokasi adik kandungnya sendiri. Sekalipun sebenarnya bisa saja Nur Zaenab merasa tetap independen. Tetapi publik bisa saja mengatakan: benar salah akan dibelanya karena mereka 'kan bersaudara kandung.
Maka dikatakan, roh utama seorang advokat adalah independensi. Seorang advokat tidak memiliki kewenangan upaya paksa seperti menangkap, menggeledah, menahan dan seterusnya selayaknya polisi dan jaksa. Namun demikian, seorang advokat memiliki independensi sebagai kekuatannya: tidak ada atasan, bukan bawahan kliennya, tidak ada hubungan keluarga dengan kliennya, dan tidak ada hubungan kepartaian dengan kliennya.
Dengan independensi advokat demikian, perjuangan advokat utuh dan fokus hanya demi hukum dan kepentingan kliennya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Ketika independensi seorang advokat diragukan, maka secara etis advokat yang bersangkutan menjadi lemah kekuatan advokasinya baik ke dalam (terhadap kliennya), ke luar (terhadap publik), maupun kepada sesama penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dalam perkara klien bersangkutan.
Bolehlah dikatakan demikian lebih kurang tips utama dalam menunjuk seorang advokat. Selain mempertimbangkan kecakapan, juga memastikan independensi advokat yang akan ditunjuk.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H