Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ilusi Ganti Rugi Korupsi

9 April 2012   07:04 Diperbarui: 12 Desember 2017   09:12 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana diketahui, unsur “memperoleh” tersebut haruslah dibuktikan berapa persisnya harta hasil korupsi yang diperoleh terdakwa. Untuk itu, harus dihitung harta terdakwa sebelum tindak pidana korupsi dilakukan, dan berapa harta terdakwa sesudah korupsi dilakukan, sehingga didapatkan hasil penambahan kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi. 

Keseriusan pengembalian kerugian keuangan negara harusnya juga tergambar mana kala semua penyertaan (deelneming) vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni semua pihak yang terlibat menerima atau memperoleh harta dari hasil korupsi, semuanya diusut dan didakwa ke pengadilan. 

Jika pihak yang terlibat tidak didakwa semua, maka sudah dapat dipastikan kerugian keuangan negara tidak akan bisa diselamatkan secara utuh. Sebab, proses pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak mau sukarela adalah dengan eksekusi, lah, bagaimana mau mengeksekusi jika yang bersangkutan tidak dijadikan tersangka dan terdakwa di pengadilan. 

Hal krusial begini yang acap kali tak disadari sehingga “tebang pilih” dalam kasus korupsi dianggap ringan dan biasa saja. 

Mengingat, jika konteks korupsi adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 2) dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), maka orientasi penegakan hukum haruslah pengembalian kerugian keuangan negara. 

Tak ada artinya pengusutan korupsi jika kerugian keuangan negara tidak berhasil diselamatkan. Walaupun “kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” sebagai unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tersebut tidak bersifat wajib yang ditandai kata “dapat” dalam redaksional pasal bersangkutan, namun menurut Nur Basuki Minarno (2008), kerugian keuangan negara tersebut haruslah ada baru terdapat relevansi korupsinya. 

Parameter kerugian keuangan negara tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 35 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, haruslah “nyata dan pasti”. Kerugian keuangan negara yang baru “akan” atau “belum” terjadi (potential loss), tidak tergolong kerugian keuangan negara. 

Supaya kerugian keuangan negara itu jelas legalitas “nyata dan pasti”-nya harus ada audit. Audit untuk kepentingan proses hukum projustitia harusnya dilakukan lembaga independen, yang tidak memihak, dalam hal ini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), vide Pasal 10 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 11 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukan audit seperti biasa dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai permintaan Kejaksaan atau Kepolisian, karena BPKP berada dalam satu cabang kekuasaan ketatanegaraan yang sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian, yakni sama-sama cabang kekuasaan eksekutif. 

Jaksa atau polisi bisa saja menghitung kerugian keuangan negara akan tapi perhitungan demikian tidak memiliki legalitas mengikat menurut hukum. Umpama kata penulis bisa saja berpendapat penyakit kanker usus si A disebabkan kurang makan sayur, tapi pendapat ini tidak mengikat dan memiliki legalitas seperti dilakukan seorang dokter ahli. 

Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dalam pertimbangan putusan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan, “Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.” 

Memaksa mendakwakan kerugian keuangan negara yang belum/tidak nyata dan pasti pada gilirannya akan terbentur saat eksekusi kelak. Sebab, harta yang dieksekusi haruslah jelas dan tertentu objeknya. Kompleksitas demikian yang juga acap tak disadari dengan baik dalam penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara korupsi di pengadilan. Main terabas saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun