Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menanti Inpres Penataan Toleransi Beragama di Indonesia

18 Agustus 2014   22:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:13 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAYANGKAN gebrakan pertama Jokowi-JK pasca pelantikan, yang sebelumnya telah disiapkan oleh Tim Transisi, salah satunya adalah ditandatanganinya instruksi presiden tentang penataan toleransi beragama di Indonesia.

Problema bangsa Indonesia bukan hanya menyangkut kesejahteraan rakyat sehingga perlu program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), bukan hanya masalah korupsi, tetapi juga maraknya intoleransi beragama di banyak daerah di Indonesia.

Inpres penataan toleransi langsung menghunjam lalu mencabut akar masalahnya. Pertama, memerintahkan gubernur untuk mencabut peraturan gubernur (Pergub) terkait pelarangan ajaran/aktifitas Ahmadiyah di Indonesia dan melarang penerbitan pergub serupa di kemudian hari.

Ambil contoh Pergub Sumbar No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Sumatera Barat, yang ditandatangani oleh Gubernur Sumbar asal PKS Prof Dr Irwan Prayitno, Msc. Kemudian Pergub Jabar No 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, yang ditandatangani oleh Gubernur Jabar juga asal PKS, Dr (HC) Ahmad Heryawan.

Pergub-pergub di atas dinilai melanggar HAM, bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 22 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pada Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa hak beragama demikian tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Kedua, memerintahkan pencabutan Surat Keputusan Bersama ("SKB 3 Menteri") Menteri Agama No 3 Tahun 2008-Jaksa Agung No KEP-033/A/JA/6/2008-Menteri Dalam Negeri No 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. SKB 3 Menteri ini pangkal bala intoleransi dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

Isi SKB 3 Menteri di atas mengandung 6 poin penting:


  1. Memberi peringatan dan perintah untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;
  2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW;
  3. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut dan pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundang-undangan;
  4. Memberikan peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI;
  5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan dan perintah dapat dikenai sanksi perundangan yang berlaku;
  6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.


SKB 3 Menteri tersebut dipandang bertentangan dengan semangat HAM kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Lebih jauh lagi, presiden menginstruksikan kepada menteri terkait untuk merancang RUU Pencabutan UU No 1/PNPS/1965 dan pasal-pasal KUHP yang mengandung materi muatan pidana penyebar kebencian (haatzai artikelen) dan penodaan agama.

Semangat dari instruksi demikian adalah, negara dalam hal ini aparatur negara tidak dalam posisi secara sepihak menentukan sebuah agama sesat atau tidak (menyimpang atau tidak). Negara justru diarahkan tidak memihak dan menjamin kemerdekaan beragama sesuai konstitusi.

Ketiga, pada bagian lain dibuat pula klausula penegasan larangan kepala daerah untuk mengintervensi putusan-putusan pengadilan terkait kehidupan beragama di Indonesia. Berikut dengan sanksi sesuai hukum apabila melanggar.

Ambil contoh SK Walikota Bogor No 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin, yang mengintervensi Putusan Pengadilan TUN Bandung No 41/G/2008/PTUN.BDG tgl 4 September 2008 jo. Putusan PT TUN Jakarta No 241/B/2008/PT.TUN.Jkt tgl 11 Februari 2009 jo. Putusan PK MA No 127 PK/TUN/2009 tgl 9 Desember 2010, yang memenangkan pihak GKI Yasmin terkait pencabutan/pembekuan IMB GKI Yasmin oleh Kepala DTKP Kota Bogor dan Walikota Bogor.

Intervensi kepala daerah terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat disamakan dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) yang berdimensi hukum keperdataan dan administrasi negara. Putusan hakim sama dengan undang-undang yang harus dijalankan.

Konsekuensi intervensi demikian, kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya karena melanggar sumpah/janji jabatan untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya [vide Pasal 29 Ayat (2) jo. Pasal 110 Ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah].

Keempat, presiden menginstruksikan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk mencabut Peraturan Bersama No 9 Tahun 2006/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Memelihara Kerukungan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukungan Umat Beragama, dan Pendirian Rumat Ibadat ("PB 2 Menteri").

Secara norma dan pelaksanaannya, PB 2 Menteri tersebut menjadikan negara melalui aparatur negara sebagai "hakim keyakinan" lantas memihak salah satu diantara berbagai keyakinan. Harusnya, negara tidak boleh memihak keyakinan tertentu dalam sebuah relasi antar keyakinan agama melainkan harus mengayomi semua keyakinan agama, melindungi dan memenuhi rasa aman beragama.

Lihat saja praktik PB 2 Menteri tersebut telah dijadikan dasar hukum kepala daerah untuk mempersulit pendirian rumah ibadah, seperti pendirian GKI Yasmin di Bogor. Negara melalui aparatnya telah merangkap polisi-keyakinan, jaksa-keyakinan dan hakim-keyakinan secara sekaligus.

Kelima, khusus terkait konflik jemaat Syiah di Sampang, presiden menginstruksikan Menteri Agama, Mendagri, Kapolri dan Gubernur Jawa Timur untuk mengembalikan jemaat Ahmadiyah yang terusir kembali ke kampungnya, serta menjamin keselamatan mereka.

Pelaksanaan inpres ini dapat pula dikaitkan dengan politik anggaran. Daerah-daerah yang berhasil melaksanakan inpres penataan toleransi beragama di Indonesia dapat ditambah anggarannya. Sebaliknya, dikurangi anggarannya apabila dinilai gagal. Tiga daerah terbaik dapat dijadikan daerah percontohan kerukunan beragama di Indonesia.

(Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun