.
Pendirian tugu ini menimbulkan kontoversi bagi sebagian warga Depok yang bukan termasuk Kaoem Depok. Mereka berkali-kali melakukan aksi demo untuk meruntuhkan tugu ini, dengan alasan berbau kolonial. khususnya bagi warga yang sangat pro Republik.
Sebagian Kaoem Depok banyak yang pindah ke Belanda, karena merasa kurang nyaman tinggal di Depok. Kini hanya tinggal ratusan keluarga, yang sering disebut "Belanda Depok". Secara fisik berkulit gelap seperti penduduk pulau Jawa lainnya, namun fasih berbahasa Belanda. Salah satunya menjadi pakar sejarah Depok, Boy Loen yang kami temui.
Memang dalam memutuskan nasib tugu ini, kita harus melihat dari banyak sisi. Dari sisi semangat kepahlawanan, tentu kita  boleh beranggapan bahwa tugu ini tidak perlu, karena sangat mengkhianati perjuangan.
Sebaliknya, bagi Kaoem Depok, Cornelis dianggap berjasa, karena sudah mrmbebaskan status mereka dari perbudakan, bahkan mewariskan tanah Depok yang pernah dibeli Cornelis.
Jadi, masing-masing pihak mempunyai sisi benarnya, apalagi Cornelis berbeda dengan  orang Belanda lainnya. Cornelis sangat menjunjung tinggi martabat manusia. Bila di bagian tanah bekas jajahan Belanda lainnya, masyarakat sengaja dibuat bodoh dan tertinggal. Cornelis justru mendirikan dua sekolah, satu berbahasa Melayu (cikal bakal SMPN  1 Depok) dan satu berbahasa Belanda. Dan mewajibkan budak-budaknya untuk belajar baca tulis pada sore hari. Jadi tidak seperti orang Brlanda lainnya yang bersifat penjajah murni, Cornelis justru memajukan warga Depok melalui pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Inggris oada tanah jajahannya.
Semoga Pemkot Depok dapat menyikapi secara bijak, agar dapat diterina oleh Kaoem Depok dan warga Depok lainnya.
Note: ditulis berdasar penjelasan dan presentasi  Boy Loen pada acara Hertage Depok, kolaborasi Click dan Kreatoria, tanggal 28 Oktober 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H