Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang Sampah, Peduli Lingkungan dengan Media Budaya

20 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   07:00 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Sampah (sumber gambar Koteka)


Bumi kita yang makin tua, perlu dilindungi dari pencemaran oleh limbah  / sampah, khususnya limbah / sampah plastik yang sulit diurai oleh tanah. Untunglah masih ada orang-orang yang mau peduli, salah satunya adalah Muhammad Sulthoni Sastrowidjoyo alias Toni Konde.

Toni Konde (sumber gambar Koteka)
Toni Konde (sumber gambar Koteka)

Narasumber Koteka Talk 198 ini lahir di Tanjung Karang, dan sekarang berdomisili di Solo.

Sebagai pekerja seni yang aktif di komunitas lingkungan, maka Toni Konde berhasrat menciptakan karya seni berbasis lingkungan.

Dalam kegiatannya membersihkan lingkungan, sungai dan gunung, Toni Konde sering menemukan sampah plastik.

Terinspirasi dari seniman di Solo yang membuat wayang dari kertas, timbul ide kreatif untuk membuat wayang dari sampah plastik.

Melalui organisasi yang diberi nama Wangsa, singkatan dari Wayang Sampah, mulai tahun 2014 wayang Sampah mulai digulirkan.

Wayang Sampah ini memiliki tokoh-tokoh sesuai pakemnya, seperti mbah Wongso sebagai orang bijak sekelas Semar, singkatan dari Wong Solo, lalu ada yang berwarna hitam sebagai pak Lurah, yang berwarna hijau dipanggil pak Somad, tokoh hansip penjaga keananan desa, dan Genduk tokoh perempuan berkembdn dengan rambut merah muda. Wayang Sampah juga dibuka dan ditutup dengan gunungan dengan gambar logo Wangsa.

Waktu pementasan normalnya 1-2 jam, maksimal 3 jam. Jadi tidak semalam suntuk.

Semula Wayang Sampah (2014) tanpa diiringi musik. Supaya lebih menarik, pada tahun 2015 diciptakan gamelan dari sampah kaca dan pipa pralon.

Awalnya, kegiatan Wayang Sampah dengan dana sendiri, tidak mendapat bayaran. Mendapat makan, akomodasi, dan ongkos transport sudah terima kasih.

Namun karena niatnya untuk memberikan edukasi pada orang lain mengenai pentingnya kelestarian lingkungan, maka tetap dilakukan dengan tanpa pamrih.

Namun secara bertahap, Wangsa mulai dikenal, sehingga sering mendapat penawaran pentas, bahkan dari Kementerian.

Karena makin dikenal, Wangsa pernah mendapat hibah dari Kementerian Dikbud (sekarang Diknasbud dan Ristek). Hibah ini untuk beaya melakukan pertunjukan.

Suatu saat seorang teman menyarankan untuk mengikuti kompetisi musik berkelanjutan pada program "Music Cities". Maka dibuatlah satu album musik dan berhasil masuk nominasi. Maka, Wangsa mulai memperoleh penghargaan. Hingga sekarang tidak kurang 9 awards pernah diraihnya.

Pernah memperoleh grant dari Bagong Kusudiardjo yang menghasilkan lakon Operasi Sampah Plastik. Memproduksi film bersama Garin pada workshop Indonesia Kaya yang dikombinasi dengan tarian dengan memilih lokasi di TPA Putri Cempo, Solo.

Selama pandemi, kegiatan berhenti dan baru aktif lagi tahun 2021.

Wangsa pernah pentas di Bandung, Jakarta, Filipina, Thailand, dan Spanyol.

Wangsa selalu mempunyai program setahun sekali mengadakan festival keliling ke desa-desa.

Bahkan kini, Pacitan, Pati, dan Karanganyar telah memiliki gamelan dari sampah kaca.

Kegiatan paling akhirnya adalah pentas di Taman Budaya, Jogja disponsori Diknas dan program sanitasi di UGM, Jogja. Karya terbaru dari Wangsa adalah lakon Buto Cempo.

Karena unik, rencananya tahun ini Wayang Sampah akan dipatenkan. Wangsa kini sudah berbadan hukum dan memiliki kepengurusan yang professional.

Wangsa tidak kawatir tidak berlanjut, karena selalu melakukan regenerasi dengan melibatkan siswa SMP & SMU.

Selama berkarya, selain Wayang Sampah, Toni Konde telah menghasilkan karya seni Wayang Saru (2011), Limbah Berbunyi (2016), Trash Gamelan (2018), Gamelan Beling / Kaca (2021), dan Keroncong Babe / Barang Bekas (2023).

Demikianlah bincang-bincang Koteka bersama Toni Konde, semoga dengan edukasinya orang akan makin peduli pada lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun