Hal ini sangat sulit dicapai, karena mengutip dari Mochtar Lubis mengenai 6 sifat manusia Indonesia yang sangat miris.
Padahal cinta tanah air adalah watak yang 100% peduli pada negaranya.
Contoh konkret adalah yang dilakukan oleh  Uskup Semarang, Sugiyapranata dan gurunya van Lith, seorang pastor Belanda dengan jiwa seorang Jawa. Padahal sebagai seorang misionaris seharusnya bersikap sebagai penengah antara pemerintah kolonial dengan pribumi. Namun van Lith justru lebih memihak pribumi (bumi putera).
Tindakan yang dilakukan oleh Sugiyapranata adalah menulis surat kepada Vatican agar mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan menunjukkan aksinya turun dari delman di Jogja pada saat Jogja menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.
Kedua aksi  Sugiyapranata ini menunjukkan bahwa umat Katolik juga ikut berjuang pada proses kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana merawat dan mengembangkan cinta tanah air? Dilakukan dengan merawat ingatan bersama dengan doa untuk tanah air. Khususnya pada tiga peristiwa historis, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, dan proklamasi kemerdekaan; dimana ditetapkan Panca Sila sebagai dasar negara. Untuk merawat rasa cinta tanah air, Â harus mengamalkan Panca Sila ke dalam batin.
Dalam tanggapannya Prof. Sulistyowati menyoroti cara menghadapi masalah yang berat. Yang diberikan contoh oleh Uskup Suharyo bahwa kita masih mempunyai harapan dengan adanya creative minority.
Sementara Habib Husein menyoroti tentang bonus demografi bila dilihat dari visit kekatolikan dan tanggapan atas sikap Paus mengundang komedian. Uskup menjelaskan bahwa setiap orang dilahirkan asli, hanya meninggal dunia sebagai fotokopi. Sedangkan komedi dapat membuka wawasan.
Masih banyak cerita dari narasumber, namun sebaliknya tidak dibahas semua disini agar tulisan ini tidak berbau spoiler. Saksikan saja acara Gagas RI di Kompas TV beberapa hari ke depan atau bila tidak sempat menyaksilan langsung dapat melihat melalui kanal YouTube Kompas TV.
Bulan Juni sangat tepat untuk merenungkan bagaimana mencari jalan untuk mencintai Indonesia, demikian pamungkas ceramah Uskup Suharyo.