Selama ini kita mengenal Butet Kartaredjasa sebagai monolog yang pentas-pentasnya sangat kontroversial, sehingga sering berurusan dengan pihak kepolisian. Selain sebagai monolog, Butet juga dikenal melalui tulisan-tulisannya yang tajam meski dituliskan dalam bahasa yang santun.
Ternyata Butet juga seorang pelukis. Karyanya berupa goresan supidol diatas kertas putih HVS maupun cat minyak di atas kanvas.
Menurut Butet yang sempat kami ketemui sebelum berbicara dalam seminar tentang karyanya yang dipamerkan dengan jejuluk "Melik Nggendong Lali" (yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, adalah orang yang sudah mencapai keinginannya agar jangan lupa diri).
Semua lukisannya adalah ungkapan kemarahan yang ditransformasikan menjadi berkah. Butet selalu melakukan wirid, tradisi Jawa berupa ungkapan spiritualitas yang tidak diucapkan tetapi dilakukannya dengan menulis. Misal bila dia sedang gelisah dengan dirinya, dia akan menulis namanya berulang-ulang, Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa. Bila dia sedang gelisah dengan negeri ini dia akan menuliskan "Nuswantara" berulang-ulang.
Selain berupa tulisan, banyak ungkapan kemarahannya yang menjadi lukisan. Terdapat banyak lukisan yang berhasil dikumpulkan oleh Asmudjo J. irianto, sebagai kurator pameran lukisan ini.
Karena lukisan-lukisan ini banyak dibuat pada tahun 2023 yang kita kenal sebagai tahun politik, maka bisa ditafsirkan lukisan ini bisa juga bernada kritik terhadap keadaan sosial politik di negeri ini. Namun Butet tetap membebaskan penikmat lukisannya untuk memberikan tafsir masing-masing.
Pameran lukisan Butet Kartaredjasa dihelat di Galeri Nasional, kawasan Gambir, Jakarta Pusat dari tanggal 26 April hingga 25 Mei 2024 tanpa dipungut bayaran, asal yang berminat melakukan registrasi secara daring, dan mendapatkan barcode yang pada hari dan jam yang dipilihnya yang akan dipindai dan bila dianggap sah akan diberikan stiker bulat sebagai penanda.
Meski pameran ini tidak berbayar, namun katalognya dijual cukup mahal, juga cindera mata yang dijual di depan pintu masuk.
Saat kita memasuki gedung pameran, pertama kali kita disambut dengan patung tokoh punakawan Petruk berbusana jas dengan gestur tubuh yang congkak, berwajah kuning keemasan. Tokoh Petruk dikenal pernah menjadi Ratu dalam episode "Petruk Dadi Ratu" yang tidak pernah mau turun tahta. Butet tidak bersedia menjawab pertanyaan tokoh politik siapa yang dianalogikan sebagai Petruk, silakan penikmat menafsirkan  sendiri.
Dalam koleksi lukisan lainnya yang ditampilkan di ruang pamer, banyak menyiratkan luapan emosi berupa kritik. Butet mengakui bahwa sebagai seorang sahabat dia berani berbicara, tidak diam saja seperti orang lain, yang memilih berada pada kondisi nyaman dan aman. Yang sering diungkapkan dalam kata-kata makian "asu", ini adalah bentuk kejengkelan seorang sahabat pada sahabatnya.
Bila seseorang belum akrab, tentu segan mengucapkan kata "asu" yang bila diterjemahkan artinya "anjing". Sebuah kata makian dari seorang sahabat yang sedang kesal. Dan lukisan yang mendeskripsikan kejengkelan ini banyak tampil dalam lukisan-lukisannya.
Bagi Anda yang penasaran dengan lukisan Butet, silakan menyaksikan sendiri dan tafsirkan makna lukisan berdasarkan imajinasi liar Anda.
Selamat menonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H