Teman saya yang asli Solo, selalu berpromosi, "Boleh menginap di Jogja karena sudah banyak hotel bagus, tapi jangan lupa makannya di Solo." Jadi mirip dengan slogan sebuah minuman teh, "Makannya boleh apa saja, asal minumnya teh XXX." Sengaja saya tidak tuliskan merek aslinya, daripada nanti dikirimi "surat cinta" oleh admin Kompasiana dengan dalih berpromosi.
Saya sering ke Solo setelah lulus kuliah, karena perusahaan saya bekerja memenangkan lelang pembuatan perangkat lunak sebuah perusahaan batik di kota ini. Kebetulan saya yang ditugaskan, jadi saat pelatihan dan pemasangan perangkat lunak, saya harus menetap sekitar dua minggu di Solo.
Hari kerja dihabiskan untuk bekerja, sedangkan akhir pekan bisa saya manfaatkan untuk berburu kuliner Solo.
Salah satu kuliner khas Solo yang menarik adalah Selat Solo. Selain warnanya yang menarik, namanya juga membuat penasaran. Padahal di Solo hanya ada sungai, yaitu bengawan Solo, kenapa namanya "selat".
Rasa penasaran membuat saya memesan kuliner ini untuk mencicipi cita rasanya. Seraya berusaha mengetahui sejarah namanya, melalui penjualnya.
Untungnya penjualnya ramah, dan berkenan menceritakan sejarah Selat Solo. Sejarah Selat Solo berasal dari sejak era kolonial, pemerintah kolonial Belanda nemiliki hubungan cukup erat dengan kraton Solo. Kedua pihak sering mengadakan pertemuan / rapat, maka kraton Solo perlu menjamu para tamu Belanda. Karena Sunan gemar menikmati makanan berbahan sayur, maka koki kraton menghidangkan makanan berupa sayuran.
Rupanya, tamu Belanda kurang berselera, karena mereka terbiasa makan daging, misal biefstuk (atau steak dalam bahasa Inggris).
Koki kesultanan lalu berpikir keras, agar dapat menghidangkan santapan daging dengan sayuran. Akhirnya timbul.ide untuk membuat daging tumbuk, telur, dan tepung roti yang dibungkus daun pisang lalu dikukus. Setelah matang, dipotong-potong dengan pisau beroles margarine, dan dihidangkan bersama wortel, ketimun, buncis, tomat, selada, telur, dan kentang goreng. Lalu disiram kuah encer berwarna coklat, karena terbuat dari kecap bercampur mayones.
Rasanya memang nano nano, ada manis, asam dan gurih. Cara penyajiannya juga berbeda dengan biefstuk. Biefstuk disajikan dalam kondisi panas, sedangkan Selat Solo disajikan dalam kondisi dingin.
Zaman kolonial Selat Solo kebanyakan menjadi santapan bangsawan. Dan sering disebut sebagai bistik Jawa. Namun kini siapa saja dapat mengkonsumsinya, karena dijual di banyak rumah makan di kota Solo.
Asal nama Selat Solo
Rupanya Selat berasal dari asal kata slahtje (selada dalam bahasa Belanda). Karena warga Solo susah nengucapkan slahtje maka terucap sebagai Selat hingga sekarang. Jadi, tidak ada kaitannya dengan kata selat yang artinya perairan yang terletak diantara dua pulau.
Kuliner akulturasi Belanda-Jawa ini cukup populer di Solo. Ada versi yang mirip yang disebut galantine, tapi ini termasuk Dutch cuisine.
Anda tertarik? Silakan mencarinya bila kebetulan sedang bertandang ke kota Solo. Kuliner ini pantas disebut kuliner heritage, yang patut dilestarikan. (IG: @sutiono20000).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H