Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel Fiksi yang Mencuri Perhatian

1 November 2023   10:00 Diperbarui: 14 November 2023   14:31 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu 29 Oktober 2023 suasana di luar TIM panas menyengat, matahari dengan angkuh menunjukkan kedigjayaannya. Tiba di aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, gedung Ali Sadikin lantai 4 terasa sejuk meski bukan sejuk alami, karena dari pendingin ruangan yang terpasang. 

Belum banyak peserta Peluncuran Buku & Bedah Novel "Prasa" dan "Kelir" karya Yon Bayu Wahyono ketika penulis datang. Sempat menyalami Yon Bayu yang sedang asyik berdiskusi dengan Dr. Sunu. Di pintu masuk aula tampak beberapa Ibu berwastra kedaerahan dengan warna cerah dari komunitas Pelestari Budaya Nusantara (KPBN).

Meski daftar presensi hadir belum diserahkan oleh PDS, akhirnya peserta bedah buku langsung masuk satu demi satu. Saya sangat kagum, baru kali ini menghadiri bedah buku yang cukup ramai. 

Tidak kurang dari 100 peserta hadir, terbanyak dari teman-teman Yon Bayu dari Kompasiana. Mungkin karena keakraban Yon Bayu dengan teman-temannya sehingga mereka rela menghabiskan hari Minggu tidak bersama keluarga, atau kehebatan Event Organizer (EO) yang dikomandani oleh Muthiah, dengan undangan personalnya.

Bahkan kekaguman bertambah saat peserta bertahan sampai akhir, menjelang aula PDS ditutup. Biasanya pada acara bedah buku lain, menjelang akhir even, peserta sudah tinggal 25%, tapi kali ini hampir 90% peserta masih bertahan. Magnetnya keakraban sang penulis novel atau Isi novelnya yang mencuri perhatian.

Setelah menunggu beberapa saat, pejabat teras PDS belum datang juga, akhirnya MC, Nanang Supriyatin membuka acara.

Novel "Kelir"

Acara diawali dengan pembacaan nukilan novel "Kelir" oleh Retno Budiningsih, yang mengambil bab "Padepokan" atau bab 6. Dibacakan dengan suara mendayu-dayu bagaikan membaca puisi, sehingga peserta terpaku  mendengarkan alur cerita saat Dyah (tokoh dalam.novel) menceritakan tentang Kejawen pada Paksi (juga tokoh dalam novel). Banyak peserta yang kurang paham dengan Kejawen sehingga nukilan ini sangat mencuri perhatian.

Kelir  (dok: Click)
Kelir  (dok: Click)
Setelah pembacaan nukilan novel "Kelir" selesai, MC mempersilakan narasumber Dr. Sunu Wasono dan Isson Khairul, Yon Bayu Wahyono - penulis novel dan moderator Nuyang Jaimee untuk naik ke panggung.

Yon, moderator, narsum (dok: Click)
Yon, moderator, narsum (dok: Click)
Suasana cukup cair dengan gelak tawa, saat moderator berkali-kali keseleo saat menyebutkan nama Yon Bayu.

Tibalah Dr. Sunu Wasono mantan dosen Universitas Indonesia juga penulis puisi yang memiliki hobi bermain ketoprak menyampaikan pembedahannya atas novel "Kelir".

Sunu mengawali dengan menyatakan Dyah yang hadir di padepokan bahkan pada Temu Ageng karena bertugas membantu Hamoroto menjelaskan tentang Kejawen pada anaknya, Paksi. Orang Jawa yang tinggal di kota dan sama sekali belum mengerti tentang Kejawen. Apalagi soal padepokan yang didirikan oleh kakeknya, Kromo atau Ki Andong.

Menurut Sunu, novel ini hampir sealiran dengan novel karya Ahmad Tohari, "Ronggeng Dukuh Paruk". Tentang makam yang menjadi kiblat suatu keyakinan. Dalam "Kelir", makam Ki Lanang Alas, pengawal prabu Brawijaya V yang menolak masuk Islam dan moksa di gunung Candil, yang dibangun Kromo atas permintaan Jenderal dari Jakarta.

Pada era politik pembangunan, banyak makam dibangun oleh Jenderal dari Jakarta yang menjadi kiblat kebatinan sebagai legitimasi masyarakat. Meski aliran kepercayaan saat itu belum tercatat sebagai agama resmi yang diakui Pemerintah. Namun kebatinan sangat berperan dalam politik.

Novel "Kelir" juga berkisah tentang Kromo yang diselamatkan oleh lupa, sehingga terhindar dari penangkapan oleh pihak militer terhadap warga desa yang berkumpul di balai desa. Kromo yang lari ke gunung dan tidur, dirumorkan sedang menjalankan ritual di gunung yang terkenal angker, sehingga saat turun gunung dinobatkan sebagai ahli dalam mengobati orang sakit.

Makam yang menarik untuk diziarahi, sama halnya dengan pengalaman Sunu saat sedang melakukan riset di makam mbah Joyo di Gunung Kawi, yang sampai sekarang masih menjadi tempat pemujaan banyak orang.

Kritik Sunu pada novel "Kelir" hanya membahas tentang Kejawen, tapi lupa membahas tentang Sabdo Sejati sebagai ajaran Ki Lanang Alas.

Juga banyak typo pada penulisan kata yang seharusnya menggunakan dua huruf "k", seperti menampakan, menggerak-gerakan: serta penulisan kerta dan raharja.

Menurut Sunu, novel dengan kandungan percintaan, politik dan klenik ini pasti akan menimbulkan pro dan kontra seperti halnya "Ronggeng Dukuh Paruk". Meskipun nama-nama tempat sudah disamarkan atau diplesetkan, juga novel ini adalah fiksi meski menyebut-nyebut tokoh sejarah, seperti Brawijaya.

Mengakhiri pembedahannya, Sunu mengapresisi terbitnya novel ini karena menambah lengkap sastra Indonesia. Hanya perlu riset yang lebih mendalam lagi, sehingga mampu membuka tabir makam Ki Lanang Alas

Novel "Prasa"

Sebelum Isson membedah novel "Prasa", Devie Matahari membacakan nukilan novel "Prasa". Dengan mengambil bab 1 tentang Shama yang terdapat pada novel "Prasa". Devie juga membacakan dengan gaya puitis, apalagi novel ini sangat banyak mengandung  kalimat-kalimat puitis.

Prasa (dok: Click)
Prasa (dok: Click)
Isson Khairul, adalah penulis puisi dan cerpen, bahkan 12 tahun mengelola media wanita. Pria kelahiran Pariaman yang alumni Fisip tahun 1981 ini memulai bedah buku dengan menyebutkan benang merah yang ada pada novel ini. Yakni kejahatan kemanusiaan dan perjuangan seorang anak mencari asal usulnya.

Pada prinsipnya seseorang yang dilahirkan baik pasti akan menjadi baik. Bisa menjadi jahat bila ada pihak luar yang membuatnya.

Seperti Jenderal Probo  yang dalam cerita dianggap berbuat kejahatan kemanusiaan yang tidak tersentuh hukum, saat ia memimpin operasi pembumi hangusan sebuah dusun. Dalam operasi rahasia ini, ia hanyalah pion yang tidak mengetahui siapa dalangnya. Bila ia bermaksud jahat, tentu ia tidak akan menyelamatkan bayi merah yang akhirnya dijadikan anaknya yang ketiga.

Prasa saat sudah menginjak remaja mulai menyadari adanya perbedaan dengan kakaknya, baik warna kulit dan wajah  Apalagi saat Prasa menemukan foto ibunya sedang mengangkat piala beberapa bulan sebelum hari lahirnya. Prasa akhirnya menyadari bahwa dia bukan anak kandung Jenderal Probo dan istrinya.

Prasa tidak membenci ayah dan ibunya, ia hanya ingin mengetahui ayah ibu kandungnya saja.

Sama sekali ia tidak menduga adanya kejahatan kemanusiaan, itulah sebabnya ia terus berusaha mencari ayah ibu kandungnya. Dan Prasa sangat marah saat Probo yang berjanji akan mengungkap ayah ibu kandungnya saat ia sudah dewasa, dan ternyata Probo ingkar. Bagi Probo mengungkap ayah ibu kandung Prasa berarti membuka rahasia negara.

Timbul inisiatif baru bagi Prasa saat bertemu penulis biografi Jenderal Probo, namun timbul masalah baru. Akhirnya ia menghentikan perburuannya.

Kisah ini sama halnya dengan kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah terungkap bertahun-tahun, semua hanya serba dugaan.

Kritik dari Isson:
1. Ada bagian-bagian yang sulit dipahami. Penulis harus memberi ruang bagi tokoh untuk merenung, agar tergali sisi psikisnya.

2. Tokoh Prasa adalah perempuan, namun perjuangannya kurang perempuan. Mungkin karena penulisnya laki-laki.

Lebih lanjut, Isson menjabarkan bahwa penulis adalah mantan jurnalis. Yang kemudian menulis fiksi. Jadi cara penulisan belum sehalus Rosihan Anwar. Karakter tokohnya kurang masuk.

Pertanggungan jawab

Kemudian Yon Bayu diminta memberikan pertanggungan jawab atas karya fiksinya. Menurut Yon, sebuah karya fiksi dapat melahirkan multi tafsir. Bahkan sepuluh pembaca akan melahirkan 11 tafsir.

Yon Bayu (dokpri)
Yon Bayu (dokpri)
Dalam karya fiksinya, Yon mencoba memotret budaya ditengah penggusuran yang masih sering terjadi. Yon berharap karyanya ini mampu mewarnai kesusasteraan Indonesia, khususnya menjelang Pemilu yang sering memunculkan kasus HAM yang tidak pernah terungkap. Pelanggaran HAM harus dituntaskan secara hukum, agar menimbulkan efek jera.

Selama ini kebenaran dianggap begitu menakutkan, apakah pelanggaran HAM harus dimaafkan saja? Itulah sebabnya, Yon memilih dongeng anak hutan yang menjadi korban pembangunan.

Sedangkan mengenai novel "Kelir", Yon memotret kekecewaan Hamoroto karena Sabda Palon dan Naya Genggong ternyata tidak jadi datang, sehingga Hamoroto meninggalkan budaya Jawa. Padahal sebagai orangtua, ia harus mewariskan budaya Jawa pada anaknya.

Novel ini sebuah karya fiksi tentang peristiwa masa lalu yang dibahas, seperti ulah dukun-dukun istana, dan pembangunan tempat keramat.

Setelah tanya jawab, Yon menyampaikan closing statementnya.  Yon merasa mimpinya agar karyanya dapat mengisi ruangan di pusat sastra meski pada bagian paling ujung, telah menjadi kenyataan. Dan Yon mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan PDS dan semua pihak.

Karena hingga acara selesai, pejabat PDS belum hadir, maka sebagai simbolisasi peluncuran kedua novel ini, diserahkan kepada perwakilan PDS novel "Prasa" dan "Kelir".

Penyerahan novel (dokpri)
Penyerahan novel (dokpri)
Acara ditutup dengan menari bersama yang dimotori oleh KPDS dan foto bersama.

(Sebuah reportase)

Peserta (dok: Click)
Peserta (dok: Click)

Yon dan KPDS (dok: Elisa)
Yon dan KPDS (dok: Elisa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun