Pertanggungan jawab
Kemudian Yon Bayu diminta memberikan pertanggungan jawab atas karya fiksinya. Menurut Yon, sebuah karya fiksi dapat melahirkan multi tafsir. Bahkan sepuluh pembaca akan melahirkan 11 tafsir.
Dalam karya fiksinya, Yon mencoba memotret budaya ditengah penggusuran yang masih sering terjadi. Yon berharap karyanya ini mampu mewarnai kesusasteraan Indonesia, khususnya menjelang Pemilu yang sering memunculkan kasus HAM yang tidak pernah terungkap. Pelanggaran HAM harus dituntaskan secara hukum, agar menimbulkan efek jera.
Selama ini kebenaran dianggap begitu menakutkan, apakah pelanggaran HAM harus dimaafkan saja? Itulah sebabnya, Yon memilih dongeng anak hutan yang menjadi korban pembangunan.
Sedangkan mengenai novel "Kelir", Yon memotret kekecewaan Hamoroto karena Sabda Palon dan Naya Genggong ternyata tidak jadi datang, sehingga Hamoroto meninggalkan budaya Jawa. Padahal sebagai orangtua, ia harus mewariskan budaya Jawa pada anaknya.
Novel ini sebuah karya fiksi tentang peristiwa masa lalu yang dibahas, seperti ulah dukun-dukun istana, dan pembangunan tempat keramat.
Setelah tanya jawab, Yon menyampaikan closing statementnya. Â Yon merasa mimpinya agar karyanya dapat mengisi ruangan di pusat sastra meski pada bagian paling ujung, telah menjadi kenyataan. Dan Yon mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan PDS dan semua pihak.
Karena hingga acara selesai, pejabat PDS belum hadir, maka sebagai simbolisasi peluncuran kedua novel ini, diserahkan kepada perwakilan PDS novel "Prasa" dan "Kelir".
Acara ditutup dengan menari bersama yang dimotori oleh KPDS dan foto bersama.
(Sebuah reportase)