Meski mengaku dirinya sebagai traveler, pasti orang Indonesia belum tahu dimana letak desa Jangglengan. Apalagi pernah berkunjung ke sana.
Memang ada dua stereotype yang berbeda antara traveler Indonesia dengan traveler mancanegara (khususnya Eropa). Kalau traveler Indonesia pada umumnya lebih senang ke tempat-tempat yang luxury, misal Shanghai, Tokyo, Paris, Los Angeles, atau San Francisco. Meski Paris dan San Francisco akhir-akhir ini kabarnya sudah mulai memudar, berhubung banyaknya homeless yang berkeliaran. Sebaliknya traveler mancanegara lebih menyukai back to nature. Itulah sebabnya mereka lebih mengenal Bali ketimbang Jakarta.
Belajar dari desa Jangglengan, yang semula merasa daerahnya biasa-biasa saja, merasa tidak ada yang istimewa. Tidak diminati wisatawan lokal, tetapi sebaliknya sangat diminati wisatawan mancanegara.
Baiklah, mari kita berkenalan terlebih dulu dengan desa Jangglengan. Desa ini secara administratif berada di kecamatan Muter, Kabupaten Sukoharjo, provinsi Jawa Tengah. Letaknya berdekatan dengan hulu Bengawan Solo, sungai yang namanya kondang ke seluruh dunia, gara-gara lagu  keroncong ciptaan almarhum Gesang.
Uniknya, warga desa baru mengetahui keindahan alam desanya, ketika mendapat masukan dari wisatawan mancanegara.
Maka dari sinilah warga desa bangkit kepercayaan dirinya, untuk memajukan Indonesia melalui desanya. Padahal dulunya, warga desa banyak yang tidak percaya diri terhadap aset desanya, sehingga banyak yang bekerja di luar negeri, entah di bidang hospitality maupun kesenian.
Untungnya, desa Jangglengan sedang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang memiliki visi kerja yang universal. Pertama kali yang dikembangkan adalah potensi desa ini sebagai destinasi wisata alam, agro dan petualangan.
Berkat kepemimpinan Sutoyo, kepala desa yang memiliki visi, maka desa Jangglengan benar-benar berubah 180 derajat.
Desa yang semula tidak pernah mendapat kunjungan atau dilirik wisatawan mancanegara, kini tampak banyak wisatawan mancanegara lalu lalang, bak kota internasional.
Tidak perlu secara khusus memoles diri bagi alam desa yang sudah indah. Tidak perlu dibuat spot instagramable, karena dimana saja wisatawan berfoto pasti akan mendapatkan hasil foto yang indah.
Dari sisi agro (agriculture), terdapat kebun sayur dan buah. Dengan mobil jeep bekas yang masih layak pakai, digunakan untuk mengantar wisatawan memetik sayur dan buah secara langsung di taman hortikultural.
Hal ini sekaligus juga meningkatkan pendapatan warga. Karena hasil bumi tidak lagi dijual kepada tengkulak, melainkan dijual langsung ke wisatawan. Adanya wisatawan kerajinan bambu juga memperoleh pasar yang potensial.
Wisatawan juga dapat berpetualang pada wisata air, mengarungi sungai dari hulu Bengawan Solo dengan naik speedboat. Sebelumnya dapat menyaksikan keindahan Bengawan Solo dari atas bukit dengan dibangunnya sebuah restoran berarsitektur joglo, "The Bengawan". Sambil bersantai dan menikmati makanan ringan dan minuman khas desa, wisatawan dapat menyaksikan keaslian Bengawan Solo dengan airnya yang jernih, karena masih berada di hulu sungai.
Saat wisatawan sudah mau datang berkunjung, adalah peluang untuk membuat paket perjalanan, menyediakan transportasi, sekaligus tempat tinggal dan  makan minum.
Maka dipanggil pulanglah anak asli desa ini yang sedang bekerja di luar negeri, baik di hotel maupun kapal pesiar. Dengan pengalaman hospitality mereka selama bekerja di luar negeri, mereka beralih fungsi menjadi pelatih bagi warga desa, agar mampu menjadi pemandu wisata, menyiapkan tempat tinggal yang bersih sebagai homestay, serta melatih bagi yang bisa mengendarai mobil dan bisa berbahasa asing untuk menjemput dan mengantarkan wisatawan dari dan atau ke bandara. Baik bandara Solo maupun bandara Jogja.
Karena ada warga desa yang berpengalaman seni tari dan musik (gamelan) di Eropa, maka mereka dapat merancang acara hiburan budaya lokal untuk menghibur wisatawan selama tinggal di desa.
Dalam pengelolaan desa agar menjadi desa wisata yang diminati wisatawan, warga juga membangun kolam renang dengan tidak merusak suasana asli.
Komunikasi dengan warga yang sudah menjadi diaspora tetap dilakukan pada tiap Sabtu Kliwon, agar budaya lokal tidak tergerus perubahan dan silaturahmi antar warga desa dan warga desa yang berdomisili di luar negeri tetap terjalin. Diskusi atau rembug desa menghasilkan inovasi bagi pengembangan desa, bahkan diaspora ada yang berminat berinvestasi.
Akibat kemampuan desa Jangglengan berinovasi menjadi daerah wisata, desa ini sempat diganjar dengan predikat Desa Digital oleh Kemenparekraf RI. Dan desa ini juga dikunjungi delegasi KTT G20.
Berkat bantuan seorang konsultan wisata, Solo tidak lagi sekedar sebagai tempat transit, melainkan wisatawan ingin mengunjungi desa. Para wisatawan ini senang sekali mendapat pengalaman membajak sawah dan menanam padi. Sehingga akhirnya dikemas dalam paket wisata budaya Jogja-Jawa Tengah.
Inilah salah satu contoh geliat desa wisata yang patut dicontoh oleh desa lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H