Misal diskusi tentang capres dan cawapres atau caleg atau partai menjelang Pemilu, mereka saling mengutarakan pendapat atas pemkirannya masing-masing, tanpa ada yang mengambil kesimpulan. Termasuk diskusi tentang harga naik, kelangkaan bbm, tabung gas melon atau minyak goreng, bahkan hingga pertandingan sepakbola.
Pembicaraan bisa dipicu oleh pemilik warteg maupun salah satu pengunjung, lalu yang lain nimbrung.
Hebatnya meski mereka berdiskusi secara fanatik, tidak pernah terjadi saling pukul seperti di parlemen.
Mereka saling mengemukakan pendapat menurut akal sehatnya masing-masing. Itulah sebabnya banyak wakil rakyat yang menyempatkan datang ke warteg untuk mendapatkan informasi dari kaum akar rumput.
Kenapa disebut warung Tegal? Padahal penjualnya belum tentu orang aseli Tegal, bisa dari Madura atau Indramayi atau Tasikmalaya. Meski secara rata-rata pemilik warteg berasal dari Tegal  berdasarkan pantauan mudik Lebaran, dari perusahaan yang menyediakan bus gratis.
Namun bisa juga karena saat kerajaan Mataram menyerbu Batavia, Tegal adalah daerah logistik untuk menyiapkan makanan bagi para tentara. Bisa juga pengalaman nenek moyangnya dalam mengelola makanan menurun ke anak cucunya.
Yang pasti harga makanan di warteg ramah di kantong. Dan di warteglah kita mengetahui denyut nadi kehidupan di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H