Situasi yang berkembang di bagian Timur Asia, tepatnya Hong Kong, sudah langsung dapat dipantau melalui media sosial. Dan hampir dipastikan tren yang terjadi disana cepat atau lambat akan terjadi pula di Indonesia.
Saat merebaknya pandemi covid-19, banyak perusahaan yang menerapkan kebijakan WFH (Work From Home) dari yang tadinya WFO (Work From Office).Â
Karena berlangsungnys WFH ini cukup lama, hampir 1-1,5 tahun, akibatnya timbul budaya baru pada karyawan, yaitu fleksibilitas.Â
Dengan WFH, mereka yang biasanya harus bangun pagi dan pulang malam, karena menghindari kemacetan di jalan, sekarang lebih nyaman, karena tiap pagi dan sore dapat digunakan untuk berolah raga ringan di kompleks perumahan atau di rumah.Â
Mulai dari lari, jalan cepat, jalan santai, yoga atau taichi. Bagi yang masih memiliki anak, juga suatu mukjizet, karena dulunya jarang ketemu anak, sekarang bisa ketemu anak tiap hari.
Konsep WFH, kemudian berkembang ke arah konsep WFA (Work From Anywhere). Seperti WFH, WFA juga hanya bisa dinikmati oleh mereka yang bekerja dengan melibatkan dunia digital.Â
Karena bisa bekerja dari rumah, sama saja bila bekerja dari tempat liburan. Karyawan lalu memilih tempat yang santai dan berhawa segar. Bisa pantai, seperti Bali dan Lombok, atau pegunungan, seperti  Â
 Puncak, Jawa Barat atau  Kopeng, Jawa Tengah.
Jadilah sekarang, karyawan yang bekerja dari destinasi liburan, mereka bahkan mengontrak rumah dalam waktu lama, atau kost dan tidak tinggal di hotel lagi.Â
Tiap hari kemana-mana selalu membawa notebook atau komputer jinjing, mereka dapat bekerja sambil berjemur di pantai, minum kopi di kafe, atau dimana saja. Karena mereka tak perlu lagi menampilkan diri di kantor.
Bagi rekan-rekan HR, hal ini adalah fenomena baru. Karyawan sekarang banyak yang menuntut fleksibilitas daripada disiplin kerja kaku seperti masa lalu.Â
Jadi HR jangan terkejut bila karyawan berbondong-bondong mengundurkan diri, bila perusahaan kita masih menerapkan aturan masuk ke kantor yang kaku (Nine to Five).
Bahkan ekstreemnya, karyawan baru saat negosiasi, menomor satukan fleksibilitas, dan menomor sekiankan besaran upah.
Orang HR harus waspada dalam bernegosiasi dengan pimpinan tertinggi perusahaan. Peraturan perusahaan harus segera dimodifikasi bila tidak ingin terjadi gegar budaya di kantor.Â
Selain fleksibilitas tidak harus masuk ke kantor, dipantau dengan mesin presensi yang canggih dengan retina mata, tetapi harus nengizinkan pula bekerja dari mana saja. Yang peting hasil kerja sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Karena bila HR tidak menerapkan fleksbilitas dikawatirkan akan kehilangan banyak karyawan.
Dan budaya baru tidak saja melandai karyawan swasta, tetapi juga mungkin terjadi pada PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Memang sekarang perekonomian sedang susah, mencari kerja bukan hal gampang. Namun tren HR adalah fleksibilitas, jadi betsiap-siaplah menghadapi gegar budaya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H