Perjalanan seorang jurnalis
Saat masih tinggal di Bandung, Hendra pernah bekerja di media radio sebagai penyiar radio. Saat melanjutkan studinya di Jerman, Hendra mengawali sebagai jurnalis paruh waktu. Hendra memilih media cetak, karena hasil tulisan di media akan langsung dikenali siapa penulisnya.Â
Mengingat saat Hendra ke Jerman, Indonesia masih dikuasai Orde Baru, ia sering menulis dengan nama samaran atau nama pena. Hendra banyak menulis di koran-koran tentang Indonesia dan Asia, karena saat itu masih jarang orang Indonesia menjadi jurnalis di Jerman.Â
Pada 1993 susah menjual tulisan tentang Indonesia, karena dianggap stabil dan jarang terjadi perubahan, baru pada 1997 saat Presiden Soeharto mulai berkurang kekuasannya dan 1998 Â turun lalu digantikan Habibie baru banyak terjadi perubahan besar di Indonesia.Â
Dan mulai 1999, Hendra dikontrak oleh Deutsche Welle (DW). Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga penyiaran ke luarnegeri radio, tv dan online, mirip Voice Of America di Amerika Serikat. Semula bermarkas di Koeln lalu pindah ke Bonn, kecuali tv di Berlin. Tugas DW memperkenalkan perspektif Jerman dan Eropa ke negara-negara lain.
Dulu jarang orang yang mau menjadi jurnalis, orang tua pasti tidak menyetujuinya. Jurnalis tidak perlu sekolah yang penting dapat menghasilkan produk jurnalis yang berkualitas.Â
Profesi jurnalis praktis bekerja 24 jam tiap ada kejadian harus siap, karena tugasnya adalah mengejar pemberitaan. Masalah waktu dan peristiwa, harus siap. Jadi sering mengecewakan teman bahkan keluarga.Â
Seorang jurnalis harus memiliki kerinduan untuk menulis, tertarik pada kehidupan sosial dan politik. Selalu bertanya, dan tulisannya harus mencakup 5W dan 1H (Who, When, Where, What dan How).
Seorang jurnalis adalah pengamat dan bukan aktivis. Contoh seorang jurnalis berfaham  demokrat harus mampu mewawancarai seorang diktator, meski secara prinsip tidak menyukainya. Menjadi jurnalis di luar negeri awalnya berat, karena beda cuaca, beda makanan, tidak ada ikatan sosial, bahasa beda, dan metoda kerja beda.
Kita sering mendengar bahwa "bad news is good news". Tetapi harus diingat bahwa tiap media mepunyai publiknya masing-masing, DW bukan perusahaan. Bila menjadi Jurnalis di perusahaan produk harus laku dijual. Media tidak boleh selalu menuruti atau menyenangkan publik. Media juga harus bisa mengedukasi publik.
Pada era digital kita dapat dengan mudah mengetahui berapa banyak konten dibaca, akibatnya beberapa jurnalis membuat judul yang heboh agar menarik klik yang banyak. Bila di Indonesia media lebih dipengaruhi sosial media, di Jerman tidak. Meski DW juga memiliki akun di FaceBook, Instagram dan Twitter, tetapi mempunyai prinsip harus membahas isu sendiri dan tidak mengacu isu dari sosial media. Sehingga DW tidak bisa diatur oleh politisi. Sebagai pemilik perusahaan tidak boleh mempengaruhi apalagi mengancam jurnalis. Konten adalah hak jurnalis tidak boleh diintervensi oleh pemilik perusahaan. Investor hanya boleh mengkritik bila perusahaan tidak untung.