Nikita adalah teman perempuanku sejak Sekolah Dasar. Dia cantik, cerdas dan banyak dikagumi teman-teman laki-lakinya. Bagiku dia hanya teman, bahkan lawan tanding untuk menggugah semangat belajarku.Â
Kebetulan kami terus satu sekolah dari SMP hingga SMA. Kami berpisah, saat dia melanjutkan studi pada sebuah universitas negeri di kota Semarang, sementara aku melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota kecil di lereng Gunung Merbabu di sebelah Selatan kota Semarang, tepatnya Salatiga.
Selama kami sibuk dengan kuliah dan kegiatan kemahasiswaan masing-masing seakan-akan kami kehilangan kontak karena hampir tidak pernah menjalin komunikasi.Â
Setelah lulus kuliah aku melanjutkan bekerja dan berkarir di bidang Teknologi Informasi di Jakarta. Merangkak dari karyawan biasa hingga berhasil meraih posisi manajer. Memang bukan persoalan yang ringan banyak waktu yang harus dikorbankan.
Beruntungnya adik misan Nikita, kuliah juga di Salatiga, sehingga suatu hari aku mendengar kabar bahwa Nikita dipersunting seorang pria dari Kalimantan. Â
Wah ceritanya seru, kabarnya banyak mantan teman sekolah yang patah hati. Akhirnya aku ketahui juga bahwa Nikita tinggal dengan suami dan anak-anaknya di Jakarta. Nikita dan suaminya membuka rumah makan dan kantor penukaran uang asing.
Karena kesibukan kerja masing-masing kami tetap jarang berkomunikasi, apalagi saat itu belum ada telepon pintar seperti saat ini. Hanya kadang-kadang aku sengaja menukarkan uang asing dari Rupiah ke US Dollar saat akan membayar pembelian komponen komputer dari Taiwan atau Singapura.
Ya, komunikasi kami hanya sekedar bisnis tukar mata uang asing saja. Hingga suatu hari, salah seorang teman sekolah dulu ada yang berhajat menikahkan anaknya. Nikita didaulat untuk menghimpun semua teman-teman sekolah guna menghadiri hajatan pernikahan anak seorang teman di Semarang.
Jadilah hajatan pernikahan itu sebagai arena reuni bagi kami melepas rindu karena jarang bertemu satu sama lain. Sejak peristiwa itu aku dan Nikita sering terlibat dalam kepanitiaan reuni yang kami adakan tiap dua tahun sekali.
Awal tahun ini tanpa diduga siapapun aku terkena serangan stroke dan harus dirawat di rumah sakit. Mendengar kabar aku dirawat di rumah sakit, Nikita menyempatkan waktu menjengukku di rumah sakit. Untungnya aku hanya terkena serangan stroke ringan sehingga diperbolehkan pulang dan masih mampu berjalan normal.
Sekembalinya dari rumah sakit, Nikita yang mengetahui saya hidup sendiri, lalu berinisiatif mencari teman-teman yang tinggal satu kawasan denganku. Kebetulan rumahku dan rumah Nikita berjauhan, Utara dan Selatan kota. Lalu Nikita minta tolong kepada teman-teman yang rumahnya dekat denganku untuk menjenguk dan mengantarkan makanan.
Saat aku harus kontrol ke dokter, Nikita juga mengirimkan sopirnya untuk mengawalku ke rumah sakit. Sejak pulang ke rumah, aku tiap hari hari harus lapor kondisiku padanya. Suatu hari aku tertidur sebelum lapor padanya. Maka terjadilah kehebohan, semua teman dikontak oleh Nikita dan yang rumahnya satu kawasan denganku dipaksanya untuk melihat kondisiku.
Aku juga kaget, terbangun gara-gara pintu rumah diketuk orang. Ya ampun, ternyata aku tertidur dan ponsel sedang dimatikan karena sedang ditambah daya.Â
Dari teman yang mengetuk pintu rumahku, kuketahui bahwa dia dimintai tolong oleh Nikita yang mengkawatirkan kondisiku. Malam itu juga aku menghubungi Nikita dan memberitahukan bahwa kondisiku baik-baik dan hanya tertidur serta ponsel mati sehingga lupa lapor padanya.
Sejak malam itu teman-teman selalu mengingatkanku agar tidak lupa wajib lapor tiap hari pada Nikita.
Dari semua kejadian ini, aku sangat mengapresiasi ketulusan Nikita saat memperhatikan diriku. Bagiku, Nikita adalah perempuan terbaik bagiku tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H