Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan dari Inggris: The University of Oxford

18 Juli 2017   17:09 Diperbarui: 18 Juli 2017   18:07 1306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
University of Oxford (sumber: www.ox.ac.uk)

Mobil sewaan yang kami pesan sudah diantar ke apartemen tepat jam 11 pagi. Hebat juga sewa mobil di Inggris, mobilnya di antar sampai ke alamat yang Anda mau tanpa biaya tambahan. Dan pada akhir masa sewa, mereka akan mengambil di tempat yang sudah disepakati. Ini berbeda dengan di USA di mana Anda hanya bisa mengambil dan mengembalikan mobil hanya di pool mobil mereka.

Macet

Perjalanan menuju Oxford University yang hanya berjarak sekitar 100 km harus ditempuh dalam waktu hampir 3 jam. Hal ini disebabkan kemacetan di kota London, atau hanya karena akhir pekan, atau GPS nya yang kurang pandai dalam menunjukkan jalan tikus. Ada nggak ya, jalan tikus di London?

Memang tidak separah kemacetan di Jakarta, tetapi kemacetan itu tergolong parah. Bayangkan, dari jarak total 100 km, 40 km pertama kami tempuh dalam waktu 2 jam. Berarti kecepatan rerata di dalam kota hanya 20 km per jam. Ini bahkan di bawah kecepatan rerata di Jakarta, yaitu 23 km per jam. Sesudah memasuki jalan tol bebas bayaran M40, kami bisa melaju dengan kencang. Batas kecepatannya adalah 75 miles per hour atau sekitar 113 km per jam. Namun demi keamanan, mobil hanya dipacu 100 km per jam dan tidak lebih. Di Jakarta pun, yang bebas dari ancaman denda kecepatan, kecepatan maksimal sebaiknya 100 km per jam, walaupun jalan tol kosong melompong. Karena menurut teori safety driving, untuk berkendara dengan kecepatan di atas 100 km per jam diperlukan respons  yang sangat incah.  

Coopetition

Menjelang pukul 2 PM kami memasuki kawasan Oxford University.  universitas tertua di Inggris Raya dan tertua kedua di dunia yang tidak pernah berhenti menyelenggarakan proses belajar mengajar. Yang pertama adalah University of Karueein yang didirikan tahun 859 SM di kota Fez, Marroco. Sebenarnya University of Bologne sedikit lebih tua, yaitu berdiri tahun 1088, tetapi dalam sejarahnya pernah berhenti beroperasi selama perang dunia pertama.

Oxford sendiri didirikan pada tahun 1096 dan mengalami kemajuan yang luar biasa di tahun 1167 ketika raja Henry II melarang mahasiswa Inggris kuliah di University of Paris. Ketika terjadi keributan antara mahasiswa Oxford dan penduduk lokal kota Oxford di tahun 1207, sebagian pengajar dan mahasiswanya pindah ke Utara, ke kota Cambridge, dan mendirikan Cambridge University.  Dua universitas ini adalah yang terbaik di Inggris Raya. Keduanya bersaing, sekaligus berkolaborasi dan sering disebut sebagai Oxbridge.

The University of Cambridge (sumber: www.beasiswablajar.co.id)
The University of Cambridge (sumber: www.beasiswablajar.co.id)
Dalam ilmu strategic management, hal ini dikenal dengan istilah coopetition, yaitu kompetisi sekaligus kooperasi.

Dari data alumninya terlihat bahwa 27 Perdana Menteri Inggris, 30 Pemimpin Negara, 50 pemenang hadiah Nobel, dan 120 pemegang medali Olimpiade adalah alumni Oxford University. Dari nama-nama beken di antaranya adalah Tony Abbott (PM Australia), Raja Abdullah II (Jordania), Benazir dan Zulfiqar Ali Bhutto (Pakistan), Tony Blair (PM Inggris), Bill Clinton (USA), Indira Gandhi (India), Bob Hawke (mantan PM Australia), Aung San Suu Kyi (Myanmar), Margareth Thatcher (the Iron Lady), bahkan ternyata Bapak Ilmu Ekonomi, Adam Smith, juga alumni Oxford.

Kota Pelajar

Melihat suasana kehidupan kota kecil Oxford, nyaris mirip dengan kota Salatiga, Jawa Tengah sebuah kota pelajar yang hanya hidup mengandalkan keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana. Kota Oxfordpun demikian. Denyut nadinya tergantung dari keberadaan Oxford University, walaupun ada beberapa industri yang menopang, di antaranya Morris Motor dan beberapa perusahaan bir lokal. Sedikit berbeda dengan kota pelajar Boston di Massachusetts Amerika yang dihidupi oleh lebih dari 54 Universitas, di antaranya yang paling terkenal adalah MIT, Harvard dan Boston College.

Bagi rekan-rekan yang belajar manajemen tentu mengenal nama penerbit Elsevier, yang merupakan usaha penerbitan dari Oxford University.

Mahasiswa Indonesia

Kami sempat berhenti dan mencoba mengamati orang-orang yang berlalu lalang di seputaran kampus yang tersebar seluas lebih dari 400 hektar. Tidak banyak orang Asia yang kami lihat, apalagi Indonesia. Ini sangat kontras dengan University of San Franscisco di mana hampir mirip kampusnya "Orang China dan orang Indonesia". Konon bagi anak Indonesia, masuk ke Oxford jauh lebih sulit dari masuk ke lubang jarum. Aras penerimaannya 17.5%, tetapi untuk international undergraduate students levelnya lebih rendah lagi.

Selesai mengunjungi Oxford, kami melanjutkan perjalanan ke Bicester Designer Outlet yang terletak sekitar 20 km dari kota Oxford. Jumlah gerainya tidak sebanyak yang terdapat  di USA. Dari sisi harga pun untuk barang-barang branded tergolong lebih tinggi dibandingkan USA dan daratan Eropa. Inggris Raya memang kelihatannya bukan surga untuk belanja. Tepat jam 9 PM ketika gerai tutup, kami balik ke apartemen di London.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun