Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ibu

15 April 2017   11:24 Diperbarui: 15 April 2017   20:00 13259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu (Sumber: www.deviantart.com)

"Ibu,  kita kan sekarang hanya tinggal berdua, kenapa ibu tetap masak segitu banyak? Dulu waktu kita masih lengkap berenam saja ibu memasak selalu lebih. Kenapa sekarang tidak dikurangi, cobalah berhemat." kataku dengan mulut penuh makanan masakan ibuku pada suatu siang: nasi liwet hangat, sambal terasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang garam, sepotong ikan asin bakar,  dan jangan asam jawa. Menu surga bagiku.

Sambil membenahi letak kayu-kayu bakar di tungku, ibu menjawab, "Kenapa kamu protes?."

"Mubazir, bu. Kita ini bak orang kaya saja." sergahku.

"Apa iya mubazir? Mana buktinya? Mana?" tanya ibu kalem.

Kadang aku benci melihat gaya kalem ibu itu. Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya pasti aku bakal kalah dalam berargumen.

"Tiap hari hanya ibu bagi-bagikan ke tetangga-tetangga saja. Juga ke orang-orang yang lewat hendak ke pasar", kilahku lagi.

"Itu namanya sedekah, bukan mubazir. Lulusan perguruan tinggi harusnya dapat membedakan sedekah dengan sesuatu yang terbuang percuma."

"Sedekah, apakah harus tiap hari? Bak orang kaya saja, bu!" nadaku mulai meninggi.

"Ukuran kaya itu apa, nak?" Ah, gemas melihat ekspresi kalem ibuku!

"Karena kita memiliki makanan berlebih, kita patut berbagi. Begitu saja masih bertanya!", sambungnya kalem.

"Kita memiliki makanan berlebih, kita memang kaya, jadi harus mau berbagi", ibu terus berujar dengan sikap kalemnya.

Tangannya yang legam dengan kulit yang makin keriput menyeka peluh di pelipisnya. Lalu ibu menggeser dingkliknya, menghadap tepat di depanku. Aku terdiam sambil meneruskan makanku, kehilangan selera untuk berdebat.

"Nak, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing-masing, namun kewajiban kita kurang lebih sama: sebisa mungkin memberi buat sesama. Kaya itu kebesaran hatimu untuk memberi, bukan tentang harta yang berhasil kau kumpulkan. Kalau harus menunggu harrtamu menumpuk baru mau berbagi, maka kamu akan selalu merasa kekurangan dan ada kebutuhan terus, maka tidak akan pernah berbagi dengan ikhlas. Ibumu ini kaya, nak,  maka tiap hari memiliki makanan yang selalu berlebih, jadi sanggup berbagi, dan harus selalu berbagi. Ibumu tidak memiliki harta berlimpah, itu bukan masalah, itu bukan ukuran. Yang penting kita tidak pernah kekurangan, sanggup makan, sanggup hidup, sanggup beribadah, anak-anak bisa sekolah, sudah jadi orang terpandang. Apa kurang hebat pemberian Gusti Allah, padahal ibumu ini bukan orang kaya dan bukan lulusan sekolah tinggi", ibu mengakhiri "ceramah"nya dengan tersenyum.

Aku hanya sanggup menjawab "Iya, iya."

"Kamu tentu bertanya-tanya mengapa ibu memasak banyak tiap hari?"

"He eh."

"Begini, nak, dulu nenekmu mengajarkan pada ibumu. Nasehatnya: "Kalau memasak itu harus selalu dilebihkan, bukan sekedar ditambah kuah dan nasinya saja. Siapa tahu ada tetangga kiri kanan rumah yang kedatangan tamu pada malam hari, kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar pada malam hari, paling tidak tersedia nasi dan lauknya."

"Begitu nak, jadi ibu ini sudah terbiasa dari kecil selalu menyediankan kendi di depan rumah untuk orang-orang yang lewat, bila memasak mesti banyak agar bila ada tetangga dekat yang membutuhan makanan. Karena sudah diniatkan jadi tidak mengenal istilah membuang makanan. Paham?"

Aku terdiam. Kucuci tanganku di air baskom bekas ibu mencuci sayuran. Aku bangkit dari dingklikku di depan tungku, mengecup kening keriput ibuku, lalu melangkah masuk kamar.

Ah, ibu. Perempuan yang tidak pernah mengalami pendidikan tinggi dan menurutku miskin itu hanya belajar budi pekerti dari ibunya sendiri dan dari kehidupan, dan dia bisa begitu menghayati dan menikmati cintanya kepada sesamanya dengan caranya sendiri. Sementara aku, manusia modern yang bangga belajar kapitalisme dengan segala hitung-hitungan matematika ekonomi, untung dan rugi, selalu khawatir akan hidup kekurangan, lupa bahwa ada Tuhan yang menjamin hidup setiap mahluk yang bernyawa.

Ibuku benar, kaya itu kemampuan hati untuk memberi sesama, bukan soal mengumpulkan harta untuk diri sendiri.

Selamat Hari Kartini, jadilah wanita Indonesia yang berbudi pekerti luhur.

(Sebuah renungan di bulan Kartini, apresiasi untuk wanita Indonesia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun