Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jelajah Kota Tua Batavia: Keindahan Arsitektur Eropa di Jakarta

16 Agustus 2016   17:23 Diperbarui: 16 Agustus 2016   17:29 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dapatkah Anda membayangkan kondisi saat kota Batavia baru dibangun ? Tentu sangat indah sekali, karena kota Batavia dibangun dengan mencontoh konsep bangunan kota Amsterdam di Belanda, gedung-gedung yang berseberangan dengan kanal di tengahnya. Di beberapa lokasi terdapat jembatan gantung yang dapat dinaik-turunkan saat ada kapal melintas.

Dari bekas-bekas kota Batavia, Anda dapat melihat bangunan-bangunan kuno dengan aneka arsitektur Neo Klasik, Gotik, Barok maupun Klasik yang beberapa diantaranya masih ada hingga saat ini. Ditengahnya terdapat kanal yang kini airnya sangat kotor, kanal ini diapit oleh jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur.  Jembatan yang menghubungkan jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur sekarang tinggal tersisa sebuah, yakni yang dikenal dengan nama Jembatan Kota Intan. Kini Pemprov DKI Jakarta sedang akan merevitalisasi kondisi Kota Tua Batavia dengan mulai menutup akses jalan Kali Besar Barat. Kita tunggu saja bersama, apakah hasil revitalisasi akan membuat Kota Tua Batavia seindah jalanan di kota Amsterdam.

Mulai dari Museum BI ke Jembatan Kota Intan

Perjalanan menelusuri Kota Tua Batavia dapat diawali dari Museum Bank Indonesia, yang terletak di depan stasiun Kota (Beos). Museum ini pada awalnya merupakan kantor De Javasche Bank dengan arsitektur Neo Klasik, arsitektur yang lazim untuk bangunan di abad 18-19. Bangunan ini juga pernah beralih fungsi menjadi sebuah rumah sakit. Museum Bank Indonesia ini kini merupakan museum terbaik di Indonesia, dengan konsep multimedia yang menjadi acuan museum-museum lainnya.

Museum Bank Indonesia (Dok. Pri)
Museum Bank Indonesia (Dok. Pri)
Kami mulai menyusuri sepanjang kanal dan tampak sebuah bangunan yang agak berbeda dengan lainnya, yang didominasi warna merah. Pada hari-hari libur, bangunan ini sering digunakan untuk kegiatan foto pre-wedding. Bangunan ini kini dikenal dengan nama Toko Merah, dibangun pertama kali pada tahun 1730 oleh Gustaaf Willem Baron van Imhoff, salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan digunakan sebagai rumah kediamannya.

Bangunan ini sempat beberapa kali berpindah pemilik, dan pernah menjadi Kampus dan Asrama Academie de Marine (Akademi Angkatan Laut). Pernah juga beralih fungsi menjadi sebuah hotel pada abad 18, dan pada abad 19 jatuh ke tangan Oey Liauw Kong. Oleh Oey Liauw Kong, bangunan ini difungsikan sebagai toko dan warna tembok depan bangunan dirubah bercat merah hati langsung pada permukaan batu bata yang tidak diplester. Warna merah hati juga tampak pada interior bangunan beserta ukiran-ukiran yang ada pada bangunan tersebut.

Toko Merah (Dok. Pri)
Toko Merah (Dok. Pri)
Bangunan yang terdiri dari tiga gedung yang menyatu, bangunan depan bertingkat dua, sedangkan bangunan belakang bertingkat tiga. Bangunan tengah merupakan penghubung bangunan Utara dan Selatan. Bangunan ini pernah dimiiki dua orang, bangunan Utara milik Oey Kiem Tjiang dan bangunan Selatan menjadi milik Oey Hok Tjiang. Pernah juga berfungsi sebagai bank Voor Indie hingga tahun 1925. Setelah ditempati sejumlah Biro dan Kantor Dagang Belanda, pada masa pendudukan Jepang menjadi Gedung Dinas Kesehatan Tentara Jepang. Ketika Belanda kembali lagi ke Indonesia kembali menjadi kantor perusahaan Belanda. Saat terjadi nasionalisasi pada semua perusahaan asing, gedung ini menjadi kantor PT. Yudha Bakti, dan kini menjadi kantor PT Dharma Niaga.

Toko Merah merupakan bangunan mewah terbesar dari abad 18 di dalam Kota Tua Batavia yang masih terpelihara baik, megah dan nyaman. Arsitektur bangunan mencerminkan perpaduan bangunan Cornice House yang banyak diterapkan pada abad 18 dan atap tropis. Bangunan kembar ini berada dalam satu atap, dengan dua buah pintu masuk, yang memasang pemisah guna mencegah penjalaran pada bahaya kebakaran.

Hotel de Rivier (Dok. Pri)
Hotel de Rivier (Dok. Pri)
Berikutnya, kami melintasi bangunan yang sangat megah dengan pilar-pilar besar, dan saat ini difungsikan sebagai Hotel de Rivier. Pada lobby hotel ini terpasang sebuah kemudi kapal yang merupakan sumbangan Museum Bank Indonesia. Hotel ini merupakan peningkatan dari Hotel Batavia yang semula berbintang tiga, kini menjadi hotel berbintang empat. Konon kabarnya, hotel ini akan dikelola oleh kelompok bisnis Accor yang memiiki kepedulian tinggi pada bangunan cagar budaya.

Akhirnya kami tiba di Jembatan Kota Intan, satu-satunya jembatan gantung yang masih tersisa, yang menghubungkan jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Dulu dikenal sebagai jembatan jungkit, karena bagian bawah jembatan dapat diangkat bila ada kapal melintas dibawahnya. Jembatan Kota Intan ini menjadi terkenal karena sempat dilukis oleh pelukis terkenal Belanda, Vincent van Gogh, saat pelukis ini mengunjungi Batavia.

City Hall Kota Tua

Kami melanjutkan penelusuran Kota Tua dengan mengarahkan perjalanan ke Lapangan Fatahillah atau Taman Fatahillah, sebuah alun-alun dimana terdapat Kantor Gubernur Jenderal, yang kini difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta. Sebelum mencapai Tamah Fatahillah, kami sempat melintasi Kedai Kopi Aroma Nusantara yang menempati bangunan tua yang sudah direnovasi, yang khusus menjajakan kopi dari seluruh Indonesia. Indonesia adalah negara penghasil kopi terbaik di dunia, dan rencananya pada salah satu bagian bangunan Kedai Kopi ini akan dijadikan Museum Kopi. Kedai Kopi ini juga menyediakan mixed kopi dari berbagai kopi yang dihasilkan dari seluruh pelosok nusantara, dari Gayo di Aceh hingga Wamena di Papua.

Cafe Batavia (Dok. Pri)
Cafe Batavia (Dok. Pri)
Alun-alun ini dikelilingi gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial Belanda, mulai dari Cafe Batavia di sisi Utara, sebuah rumah makan bergengsi yang menyajikan kuliner Belanda dan kuliner nusantara yang dulunya merupakan gudang komoditas hasil bumi.

Anda akan menjumpai sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam si Jagur yang merupakan meriam hasil rampasan pemerintah Hindia Belanda dari Portugis, didekatnya terdapat Kantor Pos, yang hingga kini masih berfungsi. Bergeser ke sisi Timur, Anda akan mendapati Museum Keramik dan Seni Rupa yang menempati bekas Kantor Dewan Kehakiman pada tahun 1870.

Museum Sejarah Jakarta (Dok. Pri)
Museum Sejarah Jakarta (Dok. Pri)
Di sisi Selatan, Anda akan menemui Museum Sejarah Jakarta, sebuah bangunan yang dibangun pada abad 18 sebagai Stadhuis atau Balai Kota dengan mencontoh arsitektur bangunan Istana Dam yang ada di kota Amsterdam. Selain sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, dulu bangunan ini juga berfungsi sebagai rumah tinggal Gubernur Jenderal, ruang pengadilan dan penjara bawah tanah. Masih dapat disaksikan sebuah lonceng yang selalu dibunyikan, bila ada seorang yang telah menjalani hukuman mati.

Sisi berikutnya adalah sisi Barat yang kini difungsikan sebagai Museum Wayang, semula berfungsi sebagai Gereja Lama Belanda yang dibangun pada abad 17. Gereja Lama ini pernah terbakar dan dibangun kembali dengan sebutan Gereja Baru pada menjelang pertengahan abad 18. Dulunya di halaman dalam bangunan ini juga menjadi tempat makam para Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan warga Belanda lainnya. Kini kompleks pemakaman telah dipindahkan ke Musem Taman Prasasti yang terdapat di kawasan Tanah Abang.

Ditengah-tengah alun-alun terdapat sebuah bangunan yang merupakan tempat mengambil air bagi penduduk sekitar, airnya jernih sehingga dapat dimanfaatkan untuk air minum. Kini fungsi sebagai tempat mengambil air sudah ditiadakan.

Es Tajin (Dok. Pri)
Es Tajin (Dok. Pri)
Perjalanan menjelajah Kota Tua Batavia, kami akhiri dengan beristirahat di Historia cafe, sebuah cafe yang memanfaatkan bangunan tua bekas perusahaan asuransi dan direnovasi dengan bantuan Unesco. Cafe ini memiliki bagian belakang yang anggun, dan sering digunakan untuk sesi foto. Di Historia Cafe kami dijamu  dengan minuman yang sudah langka, yakni es tajin. Air tajin yang merupakan sisa air saat menanak nasi, sangat kaya dengan vitamin. Di era penjajahan di kala rakyat sangat menderita, air tajin sempat dimanfaatkan untuk menggantikan air susu untuk konsumsi bayi-bayi. Oleh chef Historia Cafe, air tajin dimodifikasi dengan menambahkan daun jeruk, kayu manis dan es. Rasanya sangat segar dan menyehatkan tentunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun