Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ketapels Berdaya] Seminar Berdayakan Tuna Rungu, Ajang Perdana Ketapels

17 April 2016   08:28 Diperbarui: 17 April 2016   10:41 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ketapels, Nara Sumber dan Crew Fingertalk (Sumber: Gapey)"][/caption]

Ketapels atau Kompasianers Tangerang Selatan Plus adalah sebuah komunitas baru yang beranggotakan para blogger Kompasiana yang berdomisili di Tangerang Selatan dan sekitarnya.

Setelah diresmikan sejumlah agenda kegiatan direncanakan dan salah satunya yang sudah berjalan adalah seminar bertema "Sebuah Misi Perberdayaan" yang diselenggarakan pada Minggu 10 April 2016 silam. Tempatnya sengaja dipilih sebuah cafe unik bernama Fingertalk Deaf Cafe & Workshop yang berlokasi di jalan Dr. Setiabudi Gang Pinang No. 37, Pamulang Timur, Tangerang Selatan.

Pada seminar itu dihadirkan tiga nara sumber yang berkompeten pada masalah tuna rungu, yakni Pat Sulistyowati, mantan ketua Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) seorang tuna rungu, Dissa Ahdanisa, pemilik Fingertalk Deaf Cafe & Workshop dan Pingkan C. R. Warouw, Ketua Inasli (Indonesia Sign Language Interpreter).

Lalu dibuat aturan tak tertulis, semua peserta yang sekitar 15 orang anggota Ketapels itu wajib mengunggah tulisannya bersamaan pada 17 April 2016 bertepatan dengan peringatan ulang tahun pertama Fingertalk Deaf Cafe. Yang sengaja dimajukan dari tanggal berdirinya 3 Mei 2015, karena Dissa harus ke Amerika Serikat. Tema ulang tahun pertama adalah "Awesome Versary".

Dipilihnya Fingertalk Deaf Cafe karena cafe ini sepenuhnya dilayani dan dikelola oleh warga tuli. Lalu, tahukah Anda bahwa warga tuli lebih menyukai sebutan tuli ketimbang tuna rungu atau penyandang difabel? Ikuti tulisan ini sampai tuntas ya ...

Jalannya Seminar

Dissa tampil pertama kali, lajang normal kelahiran Jakarta 26 Februari ini telah menyelesaikan studi S1 di Jepang dan S2 di UNSW Australia. Jiwa sosialnya memaksa dirinya meninggalkan pekerjaan berbayar dan menjadi pegiat NGO.

Dissa pernah melayani warga kasta terendah di India, juga melayani warga miskin di Granada, Nicaragua gara-gara Dissa terkagum pada indahnya bahasa Spanyol. Di Granada, Dissa menemukan sebuah cafe yang seluruhnya dikelola orang tuli dan membuat kasur gantung untuk menjadi tambahan penghasilan. Hal ini menginspirasi dirinya, akhirnya Dissa belajar bahasa isyarat di Singapore agar dapat berkomunikasi dengan orang tuli. Setelah pulang ke Indonesia, diwujudkannya membuka cafe dan workshop yang seluruhnya dilayani orang tuli.

Diawali dengan 5 orang karyawan tuli, kini telah berkembang menjadi 12 orang dan hebatnya sudah berhasil pulang modal. Lahan cafe dan workshop adalah milik bu Pat, disewa, direnovasi dan menjadi cafe yang nyaman. Dissa yakin usaha cafe akan berhasil karena orang Indonesia suka makan dan kumpul-kumpul.

Merekrut karyawan orang tuli bukannya ingin menggaji rendah, gara-gara tuna rungu susah mendapat pekerjaan. Di Fingertalk semua karyawan mendapat gaji layak seperti orang normal (hearing).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun